Rumoh Aceh manisfestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungan serta menunjukan status sosial seseorang |
Rumoh
atau rumah dalam bahasa Indonesia merupakan perlambang”kemandirian dan
otoritas” seorang laki-laki Aceh. Hal ini mengacu pada salah satu hadist
Rasullah saw mengenai ukuran kecukupan seorang laki-laki muslim yaitu
memiliki tiga hal pokok yaitu rumah yang luas, isteri yang sholeha dan
kendaraan yang baik.
Sudah menjadi adat
masyarakat Aceh, jika seorang laki-laki sudah berkeluarga, maka dia
cenderung ingin mandiri pisah tempat tinggal baik dengan keluarganya
sendiri, apalagi dengan keluarga isteri(mertuanya).
Sehingga membangun
rumah pribadi merupakan suatu keharusan, terutama berkaitan dengan
eksistensinya sebagai kepala keluarga. Pepatah Aceh mengatakan beulagee
rangkang blang, penting mangat tareupang yang artinya walau gubuk,
enak kaki untuk terjulur.
Tareupang bisa juga diartikan
sebagai lambang kebebasan seorang laki-laki di rumahnya tanpa perlu merasa
sungkan dalam melakukan aktivitas apapun. Tidak seperti ketika tinggal seatap
bersama mertua semua yang dilakukan harus diperhatikan benar mulai dari
cara berpakaian, tidur, duduk dan berbicara jangan sampai melanggar sopan
santun dalam keluarga.
Jarang sekali kita temukan
dalam masyarakat Aceh satu rumah dihuni oleh beberapa keluarga, jika pun itu
terjadi, pasti dalam keadaan terpaksa dan biasanya sifatnya hanya sementara
saja.
Di desa-desa Aceh akan
kita temukan sejumlah rumah yang tidak memiliki pagar pembatas dan bahkan dari
beberapa rumah itu hanya memiliki satu sumur. Ini menandakan bahwa
rumah-rumah tersebut milik satu buah keluarga yang di sebut sekuru.
Sekuru biasanya terjadi
karena pasangan yang baru menikah belum cukup mapan untuk membeli tanah dan
membangun rumah sendiri sehingga orangtua mereka menyediakan tanah yang berada
dalam kawasan rumah induknya untuk dibangunkan ruamah untuk anaknya yang
sudah berkeluarga.
Dalam masyarakat Aceh yang
kental dengan syariat Islam, fungsi rumah sebagai tempat beribadah dan
hidup. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan sebuah rumah dilaksanakan dengan
upacara atau keunduri.
Keunduri merupakan bentuk rasa
syukur kepada Allah. Tujuan utamanya adalah untuk menolak bala atau penyakit.
Upacara adat ini biasanya diisi dengan doa tulak bala, tepung tawar
(peusunteng/peusijuk).
Besarnya keunduri tergantung
pada kemampuan pemilik rumah. Jika orang berada maka keunduri dilaksanakan
hingga menyembelih kambing sebagai menu utama makanannya. Apabila yang
memiliki rumah orang serderhana atau biasa saja dalam taraf ekonominya
biasanya keunduri hanya menyembelih beberapa ekor ayam saja.
Pada umumnya tidak ada
yang berbeda dalam upacara mendirikan rumah di seluruh Aceh. Baik dalam
menentukan hari yang tepat, memilih bahan baku bangunan hinga melakukan peusijuk atau
suntingan rumah.
Untuk menentukan waktu
yang tepat mendirikan rumah, biasanya dalam masyarakat Aceh selalu memilih
bulan-bulan yang baik seperti zulhijjah dan syawal atau bulan lainnya
disesuaikan dengan bulen di langet (perhintungan qamariah)
bukan perhintungan syamsiah atau masehi.
Jika seseorang ingin
membangun rumah atau menghuni rumah baru, selalu dikonsultasikan kepada para
Teungku atau orang-orang tua yang memiliki ilmu mengenai hal tersebut terlebih
dahulu.
Selanjutnya pelaksanaan
pendirian rumah dilakukan setelah tanah pertapakan sudah ditentukan dan
bahan-bahan telah tersedia. Kegiatan ini dilakukan dengan bergotong-royong atau
disebut meurame dengan mengundang ahli waris yang
berdekatan atau kuru berserta tetangga yang datang (ureung
lingka) untuk bersama-sama mendirikan rumah dengan arahan dari Utoh, utus
(tukang pembuat rumah) dan didampingi oleh tetua gampong (teungku dan keuchik)
Salah satu model rumah dahulu di Aceh |
Salah satu bentuk rumah bantuan untuk korban tsunami di Aceh |
Saat ini rumah di Aceh
terus mengalami perkembangan dalam struktur bangunannya. Sehingga banyak
yang meninggalkan bentuk rumah adat untuk beralih ke struktur bangunan baru
seperti rumoh santeut (rumah panggung), rumoh tampong limong (rumah
model bubung lima), rumoh bate (rumah beton) yang tidak menggunakan tangga
dan sebagainya.
Rumah yang tidak lagi
berpola adat Aceh atau rumah yang berasitektur modern dalam masyarakat Aceh
disebut sebagai rumoh Belanda. dirangkum dari berbagai sumber.