Showing posts with label tsunami. Show all posts
Showing posts with label tsunami. Show all posts

Tuesday, 15 July 2014

Lesson from Disaster


We should take to heart the lessons of past disasters to prepare for future disasters. Torahiko Terada (1878-1935)
  
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ancaman bahaya  atau bencana ini dibedakan menjadi lima kelompok yaitu:
  1. Bahaya/bencana beraspek geologi, seperti: gempa bumi, tsunami, gunung api, dan tanah longsor.
  2. Bahaya beraspek biologi, seperti wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman dan hewan/ternak.
  3. Bahaya beraspek teknologi, seperti: kecelakaan transportasi, kecelakaan industry dan kegagalan teknologi.
  4. Bahaya beraspek lingkungan, seperti: kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.
  5. Bahaya beraspek sosial seperti kerusuhan, tawuran antar warga atau kelompok dan perang.
Indonesia merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia demikian menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana). Karena secara geografis Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia juga termasuk dalam wilayah cincin api ( Ring of Fire)
Tidak hanya bencana alam, bencana non alam seperti kebakaran hutan, epidemi penyakit serta bencana sosial yang diakibatkan serangkaian peristiwa oleh  ulah manusia berupa konflik sosial antar kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan yang tterus menghantui.
Faktanya meski sudah tahu negeri kita tercinta ini rawan bencana tapi pengetahuan masyarakat mengenai kesiap siaga bencana masih minim sekali. Padahal peranan masyarakat itu sangat penting dalam mendukung  berbagai kegiatan pengurangan resiko bencana yang dijalankan pemerintah setempat guna mewujudkan kota siaga yang masyarakatnya mampu mencegah, melakukan mitigasi dan siap siaga menghadapi bencana.
Seperti di Aceh salah satu kota di nusantara yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah ini, berpotensi terhadap bencana alam, non alam dan sosial. Beberapa bencana alam dimulai dari angin puting beliung, tanah longsor, banjir, gempa bumi, letusan gunung api hingga tsunami pernah terjadi di daerah ini.


Penanaman kembali hutan bakau sebagai zona penyangga untuk  mengurangi
daya rusak tsunami  sumber foto: Koleksi pribadi 
Namun seolah  lupa mengkisahkan pada generasi selanjutnya bencana yang  pernah terjad, sehingga kurangnya antisipasi dari ancaman bahaya tinggal di daerah rawan bencana. Bencana yang terjadi dianggap  sudah takdir yang Kuasa  dan manusia tidak bisa berbuat apa-apa. 
Padahal, jika mau bersungguh-sungguh mengatasi masalah dan tidak hanya pasrah kita bisa memulai dengan hal yang mudah seperti storytelling pada anak-anak atau dengan pendidikan bencana dari usia dini seperti yang dilakukan di Jepang.
Hingga akhirnya  kita baru sadar dan  mulai  bebenah setelah gempa  9,1 SR terjadi menyebabkan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang tercatat sebagai salah satu gempa terbesar yang pernah terjadi sejak tahun 1900 menurut US Geological Survey  yang membuat seluruh mata dunia tertuju ke Indonesia.
Ada beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa dan harta saat bencana gempa dan Tsunami,  tiap kawasan terdapat perbedaan, namun dapat dirangkum penyebabnya sebagai berikut:

  • Faktor kesadaran /pengetahuan warga terhadap bencana. Warga tidak menyangka/mengetahui akan datangnya Tsunami, sehingga setelah terjadi gempa sebagian warga masuk lagi ke dalam rumah. Warga yang berada di luar rumah, melihat banyaknya warga desa lain berlarian tidak tahu apa yang harus dilakukan.Sebagian warga tidak percaya informasi peringatan (teriakan) bahwa Tsunami datang. Warga yang tersadar akan datangnya Tsunami sudah tidak cukup waktu untuk menyelamatkan diri karena Tsunami sudah masuk ke desa.
  • Jauh dan minimnya tempat yang tinggi sebagai tempat penyelamatan.
  • Tidak adanya jalan tembus ke desa tetangga yang jauh dari arah gelombang Tsunami, kalaupun ada jaringan jalan terlalu sempit, arah jalan yang memutar terlalu jauh danberkelok sehingga tidak bisa cepat menuju tempat penyelamatan.
  • Jaringan jalan desa yang relatif sempit, berkelok dan jalan buntu atau banyak permukiman yang tidak terakses jalan, sehingga banyak warga yang terjebak, terhimpit dan lain-lain.
  • Tidak tersedianya tempat penyelamatan berupa tempat yang tinggi untuk menghindari tsunami ataupun lahan terbuka untuk menghindari gempa.

Kebun warga  di kawasan Desa Ruyung Aceh Besar yang bisa dijadikan bukit evakuasi hanya
 saja terkendala kepemilikan sehingga tidak bisa untuk akses bersama Sumber foto: Koleksi pribadi

  •    Tidak adanya penghalang untuk meredam bongkahan bangunan, pohon-pohon dan lain-lain yang terbawa gelombang tsunami.


    Jalan menuju bukit evakuasi di desa Ruyung yang lebarnya 
    kurang memadai untuk dijadikan jalur evakuasi 
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Seolah mimpi buruk potret suram kehidupan di Aceh  menjelma dimana-mana. Daerah  Aceh yang terkena dampak langsung tsunami seperti kota mati dengan mayat disana-sini, tak berpenghuni karena listrik dan air juga tak ada, belum lagi trauma yang hinggap yang tak kunjung sirna. Semua serba tak pasti akibat belum adanya kepastian atas ketersediaan ruang hidup yang layak untuk masyarakat.
    Survey untuk menyesuailan data yang ada dengan kondisi yang sebenarnya
    di lapangan guna menghasilkan masterplan desa dan profil desa yang akurat
    Sumber  foto:Koleksi pribadi

    Hingga akhirnya bantuan dari berbagai Negara diberikan untuk Aceh. Untuk  membuat Aceh bangkit. Dimulai dengan membangun kembali pemukiman yang telah hancur melalui perencanaan yang matang dengan melibatkan langsung semua masyarakat desa  tua muda, pria wanita, kaya miskin, orang sehat maupun orang cacat dalam perencanaan.
    Musyawarah desa membahas penataan gampong di Desa Ruyung
    Sumber foto: Koleksi pribadi

    Perencanaan atau penataan desa itu terdiri dari:
    • Perencanaan  fasilitas umum dan fasilitas sosial
    • Pemanfaatan lahan(tata guna lahan)
    • Fasilitas penyelamatan (gedung, bukit dan jalur-jalur penyelamatan)
    • Prasarana jalan
    Perencanaan ini juga sebaiknya mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup (sosial, budaya dan ekonomi) warga desa. Partisipasi warga disini sangat penting untuk memberikan informasi tentang desa, menyampaikan keinginan/kebutuhan warga, menyampaikan usulan, memberi persetujuan, mengawasi dan menjaga pembangunan. 
    Perencanaan  fasilitas umum dan fasilitas sosial
    desain saya sendiri

    Dengan perencanaan yang melibatkan partisipatif warga diharapkan bisa mempercepat proses pembangunan desanya dan para donatur yang ingin membantu tidak perlu mencari data-data lagi karena sudah dirangkum dalam buku dan peta perencanan desa yang telah dirancang bersama.


    Barak pengungsi Tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Namun masalah tak hanya sampai disitu setelah bantuan datang pun timbul masalah baru yaitu ketidakpuasaan sebahagian warga terhadap kualitas rumah bantuan yang diterima dibandingkan dengan rumah bantuan  warga lain dari donatur lain. Hal ini terjadi karena tidak ada standar rumah bantuan yang sama baik model, besar rumah dan kualitas yang berbeda sehingga timbul kencemburuan sosial terhadap bentuk bantuan yang beragam.
    Bentuk rumah bantuan  untuk korban tsunami
    di kawasan Pasi Beurandeh
    Sumber foto: koleksi pribadi

    Bentuk  rumah bantuan untuk korban Tsunami di Desa Ruyung
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Tentu saja mereka bersyukur menerima bantuan tapi fithrah manusia pasti ingin mendapatkan yang terbaik. Masalah lainnya sanitasi di perumahan yang dibangun sepertinya kurang efektif karena terjadi penurunan muka tanah jadi ketika air pasang naik dan  sebentar saja hujan deras  kawasan desa tergenang air.
    Kualitas kayu yang tidak sesuai standar untuk ventilasi jendela
     di salah satu  rumah bantuan korban tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Kualitas kayu kurang bagus pada atap di salah satu rumah bantuan
    Sumber foto: Koleksi pribadi 
    Belum lagi masalah bantuan yang penyalurannya tidak merata serta pembebasan lahan untuk membuat rumah bagi korban tsunami yang tempat tinggalnya tidak layak huni lagi. Betapa kompleksnya permasalah yang ada. Andai saja kita telah dilatih menyiapkan diri menghadapi bencana mungkin permasalahan yang timbul tidak serumit ini.


    Drainase yang tidak berfungsi dengan baik  karena penurunan
    permukaan tanah di Desa Pasi Beurandeh  sumber foto: Koleksi pribadi

    Memang secara alamiah semua orang mempunyai naluri dalam menyelamatkan diri dari bahaya. Namun, dengan memahami cara-cara menghadapi bencana alam secara  cerdas dan sistematis maka risiko bencana dapat ditekan  serendah mungkin dengan meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek  dalam pengurangan resiko bencana.
    Untuk tahap awal kita bisa memulai dengan mengadakan penyuluhan dan pendidikan bencana dengan penyebaran informasi mengenai jenis bencana, potensi bencana, dampaknya dan cara-cara penanggulangannya.
    Penyebaran informasi ini bisa dilakukan dengan menggunakan sarana dan fasilitas alat komunikasi, seperti HP, internet, radio, televisi, media cetak, begitu juga media dan forum lainnya, jika perlu ada kurikulum khusus di sekolah-sekolah mengenai cara-cara menghadapi bencana.

    Sekalipun teknologi dan peradaban sudah maju pesatnya, namun tak bisa menolak datangnya bencana. Bencana memang bisa diprediksi, namun tak bisa diperkirakan kapan tepatnya datang bencana tersebut.  Namun kita bisa mengantisipasi dampaknya dengan  dasar-dasar ilmu yang kita miliki  untuk mengurangi resiko bencana.

    Referensi:
    http://www.tdmrc.org

    Tulisan ini diikutsertakan dalam



    Sunday, 27 April 2014

    "Zero nol tsunami" A Place To Remember

    Kalau ada tempat yang selalu membuatku ingin kembali datang lagi, tempat itu adalah pantai. Terutama pantai Ulee Lheue tempat yang sekarang dikenal dengan sebutan zero nol tsunami di Banda Aceh. Banyak kenangan yang tersimpan di sana. Orang-orang yang pernah tinggal di sana, kampung nelayan, kebersamaan yang pernah terjalin di pantai itu pemandangannya semuanya
    Ulee Lheue di situ aku pernah melakukan survey di perkampungan nelayan  untuk tugas kuliahku. Rumah-rumah kayu nelayan bejejer di tepian pantai dekat jembatan, ramahnya penduduk kampung nelayan melayani survey kami, walau pun kami tak memberi imbalan apa-apa untuk survey itu hanya sekedar ucapan terima kasih.
    Ulee Lheue tempat di mana aku dan sahabatku sering menghabiskan waktu bersama. Menikmati pantainya atau mengunjungi sahabat kami yang kebetulan tempat tinggalnya di sana. Banyak cerita terjalin di sana. tentang orang-orang Aceh yang merayakan meugang dengan sebelum ramadhan dengan berenang di pantai. Atau kisahku yang ditolong nelayan saat berenang ketika ombak besar. Semua  begitu indah menjadi kenangan.
    Suasana di salah-satu pantai di Aceh
    Sumber: Koleksi pribadi
    Jangan bayangkan pantaiku seperti di Bali dengan semua orang menggunakan pakaian renang atau bikini bagi wanita. Orang Aceh sopan dan santun bahkan ketika mereka berenang pun masih menggunakan pakaian lengkap menjaga auratnya. Baju kaos beserta celana tak ada bikini di sini.
    Bahkan ketika tsunami menyerang dari tempat ini. Menghancurkan semua perkampungan nelayan, rumah sahabatku, mereka yang hilang ditelan tsunami. Tempat ini menjadi saksi bisu keganasan tsunami Aceh lewat mesjidnya  yang tersisa dan  masih tegak berdiri.

    Mesjid Baiturrahim Ulee Lheue
    Sumber foto:https://pbs.twimg.com/media/BcYj95fCEAADRa4.jpg
    Tsunami membuat trauma tersendiri buatku. Untuk beberapa lama aku sempat sangat takut ketika melihat air dalam jumlah besar seperti laut, bahkan walau itu hanya ada di layar kaca seperti  film 2012. Rasa cemas, was-was, takut bercampur jadi satu.
    Kucoba berdamai dengan rasa takutku dengan kembali menginjak kaki  di pantai ini. Tanpa sadar semua kenangan akan tempat ini terkenang kembali menyisakan pilu di hati.
    Tapi melihat ombak yang menyisir bebatuan di pantai dan kembali ke laut atau indahnya sunset di pantai ini membuatku sadar semua terjadi karena kuasa Ilahi. Semua yang hidup pasti akan kembali kepada-Nya ini hanya masalah waktu.

    Sunset di Ulee Lheue
    Sumber: Koleksi pribadi
    Menanti sunset hobiku di pantai
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Pantai keindahannya selalu membuatku kagum, dan betah berlama-lama diam di sini menikmati sunset hingga dia menghilang. Bahkan ketika honeymoon pun pantai di Aceh menjadi destinasi utama kami. Bahkan ketika kami memiliki buah hati kuajarkan dia untuk mencintai alam dengan mengajaknya ke pantai.
    Hidup dalam ketakutan itu sangat tidak nyaman  rasa takut bukan untuk dipelihara tapi dihadapi.  
    Pantai Iboh  tempat honeymoonku
    Sumber: Koleksi pribadi



    Pertama kali Vinka ke pantai
    Sumber foto: koleksi pribadi
    Tulisan ini diikutsertakan dalam “A Place to Remember Giveaway”



    Thursday, 17 April 2014

    Museum Tsunami Sebuah Maha Karya untuk Masa Depan

    Museum Tsunami dengan konsep Rumoh Aceh as Escafe Hill
    Sumber foto:Koleksi pribadi

    Tsunami. Kata itu begitu asing di teligaku hingga aku melihat dan merasakannya sendiri dahsyatnya Tsunami di Banda Aceh 26 Desember 2004. Saat itu aku sedang berada di wartelku di jalan T. Nyak Arief dekat  asrama haji. Tiba-tiba saja terjadi  gempa.

    Tanpa ada yang mengkomando semua orang keluar dari bangunan dan diam di halaman rukonya masing-masing. Gempa kali ini berlangsung lumayan lama sekitar 5-7 menit, goncangannya sangat kuat bahkan untuk berdiri tegak pun tak bisa tanpa ada penopang.

    Setelah gempa selesai, semua orang kembali  melakukan aktivitasnya seperti biasa termasuk aku (Aceh memang rawan gempa, jadi sepertinya semua orang sudah terbiasa dengan gempa). Tetanggaku  berinsiatif mersurvey keadaan sekeliling, ternyata banyak juga  bangunan yang roboh akibat gempa terutama bangunan ruko.

    Tak lama kemudian, tiba-tiba saja ada orang yang berteriak “air laut naik, air laut naik.” Laut dimana, kita dimana. Itu pertama kali yang terlintas di kepalaku. Tapi belum lagi habis heranku tiba-tiba saja ada air berwarna hitam pekat  langsung menerjang pom bensin Jeulingke serta menyeret mobil yang terparkir di depannya hingga  terbalik dan terhempas ke pagar asrama haji.

    Aku tak tahu bagaimana nasib orang yang berada di pom bensin atau di asrama haji. Karena lagi-lagi tanpa dikomando semua orang yang melihat kejadian itu langsung mencoba menyelamatkan diri dengan lari menjauh dari air tsunami menuju prada.
    Saling dorong dan ada juga yang menendang itu yang kurasakan ketika berlari  lebih tepatnya  berjalan cepat menyusuri jalan di prada ketika tsunami terjadi. Semua panik dan tentu saja ingin selamat. Walau pun kawasan peurada juga sebenarnya  tidak cukup aman. Karena air mengepung daerah  ini dari  dua arah Lamyong dan Tibang. 

    Akhirnya setelah  bersusah payah berdesak-desakan di sepanjang jalan di  prada. Sampai juga aku ke rumah. Segera aku menyuruh semua keluargaku  untuk mengungsi karena air laut naik, awalnya mereka tidak percaya tapi melihat semua orang yang lewat depan rumah kami seperti orang ketakutan dan terburu-buru mereka mengikuti saranku.

    Aku tak tahu tetangga-tetanggaku apa semuanya sudah mengungsi atau belum, keadaan hari itu   hampir semua orang sibuk memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Aku dan keluargaku orang terakhir yang mengungsi di lorong Durian peurada utama,  air tsunami hanya berjarak kurang lebih dua meter  tepat di belakang. Jujur kami tidak tahu harus mengungsi kemana.

    Jalan menuju Lamgugob juga sudah ditutup ada dua orang hansip yang berjaga dan mengarahkan kami ke lorong kelapa, katanya Lamgugob juga sudah naik air dari Lamyong. Bingung masih melanda kemana kami harus mengungsi, kami melangkah mengikuti jejak-jejak kaki orang-orang  yang berada di depan kami menuju Mesjid di lrg. Kelapa.
    Selama di Mesjid berkali-kali gempa terus terjadi dan bangunan di lantai satu mulai penuh dengan air. Ketakutan dan pasrah berbaur menjadi satu. Apakah bangunan mesjid ini tidak akan roboh? Apakah air tsunami itu akan terus naik hingga ke lantai dua? Kudengar semua orang berdoa dan adzan dikumandangkan. Semua orang yang mengungsi di mesjid memiliki sorot mata yang sama pasrah hanya itu bisa yang kami lakukan.

    Itu hanya sepenggal ceritaku  dan kepanikan yang terjadi ketika tsunami. Ternyata gempa yang berpusat di 32 kilometer dari Pantai Meulaboh  dan berkekuatan 8,9 skala Richter  telah  memicu gelombang lebih dari 30 meter, berdampak  ke 14 negara dan  menewaskan 230.000 orang yang lebih darii separuhnya dari Aceh  (kompas.com). 


    Harusnya Indonesia sebagai negara yang berada pada lempengan bumi yang sangat rentan  akan terjadinya bencana gempa atau “Ring of Fire” membuat kurikulum khusus mengenai bencana dan cara menghadapinya sejak dini di sekolah-sekolah seperti yang dilakukan Jepang. Dengan harapan dapat memperkecil angka kematian  ketika terjadi  bencana. Bencana tidak dapat dicegah namun dampaknya dapat diminimalisir.
    Maket Museum Tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi

    Untuk mengenang kembali bencana alam tsunami yang maha dashyat di Nanggroe Aceh Darussalam dibangun "Museum Tsunami Aceh." Museum ini dibangun selama masa Rekonstruksi Aceh  melalui sayembara desain,   museum ini memiliki banyak fungsi antara lain:
    1.    Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran mengenai bencana tsunami.
    2.    Sebagai simbol kekuatan masyarat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
    3.    Sebagai warisan kepada generasi mendatang bahwa di daerah Aceh pernah terjadi tsunami.
    4.    Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang menguncang wilayah Indonesia.
    5.    Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang  atau sebagai escafe building
    Museum Tsunami Aceh yang dibangun dengan konsep design "Rumoh Aceh as escape hill" hasil karya Ridwan Kamil atau lebih dikenal dengan nama Pak Emil, merupakan proyek paling emosional yang sangat sulit baginya, karena merancang Architecture of Meaning dan dalam pengerjaan desainnya  beliau menginginkan rancangan yang penuh makna baik itu di dinding, kolom, ornamen maupun di setiap gelap-terang ruangnya.



    Jalan masuk Museum Tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Beliau melakukan pengamatan sebelum mendesain dan menemukan fenomena bahwa masyarakat Indonesia jarang mengunjungi museum, jadi beliau merancang sebuah museum yang juga menjadi hangout space sehingga setiap saat ramai dikunjungi masyarakat. 

    Museum tsunami ini terdiri dari 4 struktur lantai. Lantai basement menggambarkan ruang terbuka yang menggambil ide dasar dari rumah panggung Aceh sebagai contoh kearifan masa lalu dalam merespon tantangan dan bencana alam.

    Ruang terbuka ini dapat dimanfaatkan  sebagai ruang publik dan jika terjadi banjir atau tsunami, maka laju air yang datang tidak akan terhalangi. Lantai dua tempat untuk mengetahui tsunami secara sains agar masyarakat bisa terdukasi bila di kemudian hari terjadi tsunami lagi. Rooftop bagian atas bangunan ini merupakan tempat evakuasi yang mampu menampung 1000 orang saat tsunami datang.

    Museum ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari dengan 55 koleksi di dalamnya berupa 7 unit maket, 22 unit alat peraga dan 26 buah foto atau lukisan yang menggambarkan keadaan tsunami aceh. Sejumlah koleksi ruang simulasi gempa, alat peraga rumah tahan gempa dan rumah tak tahan gempa serta alat perga gelombang tsunami juga terdapat di sini.



    Alat simulasi gempa di Museum Tsunami 
    Sumber foto: Koleksi pribadi

        Alat peraga sangat membantu memberi gambaran mengenai tsunami
                                   Sumber foto: Koleksi pribadi
    Dari arah luar terlihat museum tsunami ini menyerupai kapal dengan sebuah mercusuar berdiri di atasnya, Dengan dinding interiornya yang menggambil filosofi tari saman untuk menunjukan  konsep hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas) dalam Islam. Sedangkan interior museum tsunami menggambil filosofi sebagai berikut:
    Space of Fear (Lorong Tsunami) 


      Tsunami passage Museum Tsunami
        Sumber foto: Koleksi pribadi
    Ketika pertama kali kita memasuki ruangan museum kita akan disambut oleh suara gemuruh air dari tsunami passage. Area penerima ini  berupa koridor sempit dengan panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m melambangkan tingginya gelombang tsunami yang terjadi tahun 2004 silam. Gemuruh air mengalir di kedua sisi dinding museum dan cahaya remang-remang cenderung gelap mendeskripsikan rasa takut pada saat terjadinya tsunami. Ruangan ini sangat sulit diabadikan dengan kamera karena pencahayaannya yang sedikit dan percikan air dari kedua koridor ini takutnya akan merusak kamera.
    Space of Memory 




                                    
                                          Memorial Hall  Museum Tsunami
                                   Sumber foto: Koleksi pribadi

    Memorial Hall atau ruang kenangan merupakan area bawah tanah yang dilengkapi dengan 26 monitor sebagai lambang dari kejadian tsunami yang melanda Aceh. Sebanyak 40 gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide  berupa foto para korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh. Ketika memasuki ruang dengan dinding kaca ini pengunjung  seolah-olah  tengah berada di dalam laut, dilambangkan dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut, monitor-monitor di dalam ruangan menggambarkan batu di dalam air dan pencahayaan  dari lubang-lubang sh reflecting pool yang berada di atasnya sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar laut.
    Space of Sorrow (Ruang Sumur Doa) 


    Blessing Chamber Museum Tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Blessing Chamber, area ini merupakan ruang transisi sebelum memasuki ruang-ruang kegiatan non memorial. Ruangan  ini berbentuk silinder menyerupai sumur dengan cahaya remang  dan terdapat kurang lebih 2000 nama-nama korban tsunami terpatri di dindingnya.  Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan dianjurkan pengunjung yang memasuki ruangan ini mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan masing-masing.


    Space of Hope Museum Tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya( hablumminallah) yang dilambangkan dengan kaligrai Allah yang tertera di atas cerobong The light of God dan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan kepala Allah (penciptanya).

    Space of Confuse (Lorong Cerobong)
     Lorong ini didesain dengan lantai berkelok dan  dan tidak rata sebagai bentuk filosofi rasa bingung dan putus asa ketika tsunami terjadi. Bingung hendak menyelamatkan diri kemana, bingung kehilangan sanak keluarga dan harta benda. lorong gelap yang membawa pengunjung menuju ke atrium yang penuh cahaya melambangkan  harapan baru masyarakat Aceh ketika dalam memulihkan kondisi fisik dan psikologi  usai bencana yang mengalami trauma dan kehilangan besar.


    Space of confused Museum Tsunami
    Sumber foto:Koleksi pribadi
    Space of Hope (Jembatan Harapan)
    54 bendera negara di Museum tsunami
    Sumber foto:Koleksi pribadi
    Atrium of Hope, area ini berupa ruang atrium yang besar sebagai simbol dari harapan dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung akan menggunakan ramp untuk melintasi kolam. Pengunjung dapat melihat 54 bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera sama dengan jumlah batu yang tersusun di pinggir kolam. Di setiap bendera dan batu terdapat kata "Damai" dengan bahasa dari masing-masing negara.

    Bendera negara di batu dan di skylight Museum Tsunami
    Sumber foto:koleksi pribadi
    Atrium hope Museum tsunami
    Sumber foto:Koleksi pribadi
    Dengan tidak mengenakan biaya masuk alias gratis, museum ini selalu ramai dikunjungi wisatawan, baik dari dalam dan luar negeri.  bahkan menjadi salah satu spot yang cukup populer bagi fotografer prewedding. amun sayang sekali, museum ini hanya buka dari hari senin-sabtu, sedangkan dihari minggu tutup. Padahal dihari minggu merupakan hari dimana para pekerja libur dan merupakan hari wisata bagi keluarga.

    "Bencana tidak bisa dihadang tapi kita bisa mengantisipasi dampaknya berdasarkan pengalaman bencana sebelumnya. Kita tidak tahu kapan terjadi bencana, tapi kita bisa mempersiapkan diri dengan pengetahuan"



    Monday, 14 April 2014

    Kapal PLTD Apung, Banda Aceh Vs Kyokotomaru, Jepang



    PLTD Apung  Banda Aceh
    Sumber Foto: Koleksi pribadi

    Tepat pada tanggal 26 desember 2014 nanti merupakan momentum bagi masyarakat Aceh dalam memperingati 10 tahun tsunami. Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang dahsyatnya bencana ini, namun setelah 10 tahun berlalu, sudah selayaknya kita menatap masa depan dan terus berpikir positif.
    Bekerja lebih giat dalam membangun bangsa Aceh dapat dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya dari Pemerintah semata, sektor swasta yang berbasis masyarakat atau lebih dikenal dengan small home industry tentunya akan menjadi salah satu sektor yang layak untuk diprioritaskan. Berapa banyak sudah bantuan baik dari Pemerintah maupun dari sumbangan pihak asing dalam hal pemberdayaan masyarakat pasca tsunami yang diterima oleh rakyat Aceh, tentunya ucapan terima kasih dapat diapresiasikan salah satunya dengan bekerja lebih keras dan giat untuk menciptakan masyarakat yang sustainable.
    Hal ini tentunya sangat berbeda dengan yang terjadi di Jepang pasca gempa dan tsunami 2011 yang melanda daerah Tohoku (utara Jepang). Dimana dapat dikatakan bahwa mereka sangat sedikit sekali menerima bantuan dari luar/asing dan lebih mengandalkan resource dari dalam negeri mereka sendiri. Walaupun sudah kehilangan harta benda namun masyarakat Jepang sangat sabar, tidak terlihat emosi yang meledak-ledak, mereka tetap mempertahankan budaya antri berbagai kebutuhan pokok, bahkan di keadaan sesulit apapun.

    Wisata Tsunami
    Di Banda Aceh terdapat beberapa situs tsunami yang cukup mengundang keinginan para wisatawan baik lokal maupun manca negara untuk berkunjung. Seperti Kapal diatas rumah di Lampulo, Kapal Apung di Punge, Museum Tsunami, dll. 
    PLTD Apung Banda Aceh
    Sumber Foto: Koleksi pribadi

    Hal ini terjadi karena sangat kurangnya situs-situs tsunami yang terpelihara dengan baik dan dijadikan memorial oleh negara-negara lain. Jika kita membandingkan dengan Jepang, dimana pasca gempa dan tsunami 2011, dapat dikatakan sudah tidak ada lagi bangunan atau sisa-sisa dari bencana tersebut yang dijadikan memorial. Dikarenakan oleh dasar budaya Jepang yang agak sedikit sentimentil dan memiliki kesan mendalam terhadap suatu hal dan tidak ingin mengenangnya lagi jika kejadian tersebut dianggap kurang baik. 
    Sebagai contoh, disebuah kota pelabuhan yang bernama Kesennuma, disana terdapat sebuah kapal besar Kyotokumaru dengan bobot 330 ton yang sedikit lebih kecil dari PLTD Apung, namun apa yang terjadi? Pada awalnya masih terdapat pro dan kontra antara pihak yang ingin menyimpannya menjadi salah satu bukti kedahsyatan tsunami dan pihak lain yang merasa sedih, karena setiap melihat kapal tersebut akan mengingatkan mereka terhadap sanak keluarganya yang hilang. 
    Untuk mengambil keputusan, pemerintah kota Kesennuma melakukan voting/jejak pendapat yang diikuti oleh seluruh warga kota, dan hasilnyapun sudah dapat ditebak dimana mayoritas (hampir 70%) masyarakat memnginginkan agar kapal besar itu untuk di demolish.
    Memang banyak sekali pihak yang menyayangkan hasil keputusan warga kota Kesennuma, namun bagi mereka hidup haruslah terus berjalan dengan menatap masa depan, walaupun tidak ada lagi sisa-sisa bencana yang dapat dijadikan peringatan bagi generasi mendatang, yang mungkin dapat berpikir bahwa tsunami besar itu hanyalah dongeng belaka.

    Kyokotomaru
    Sumber Foto: AFP
    .
    Maka beruntunglah kita yang tinggal di Aceh, dimana masih terdapat banyak sekali memorial yang dapat memberi pelajaran kepada para penerus bangsa dan tentu saja situs –situs tsunami tersebut perlu dirawat dan dijaga bersama-sama.
    Maket Kapal PLTD Apung
    Sumber foto:Koleksi pribadi
    Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung, kapal seberat 2.600 ton milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) awalnya didatangkan ke Banda Aceh guna memenuhi pasokan listrik di Banda Aceh sebesar 10, 5 Megawatt. Dikarenakan sewaktu terjadi konflik di Aceh banyak menara listrik PLN yang dirobohkan menyebabkan pasokan listrik terganggu. 




    PLTD Apung
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Pengunjung PLTD Apung
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Kapal yang memiliki luas 1.900 meter persegi dan panjang 63 meter ini terseret gelombang tsu
    nami dari Pantai Ulee Lheue sejauh 5 km dan terdampar di Gampong Punge Blang Cut Kota Banda Aceh. Hingga kini PLTD apung tetap berada di tengah kota dan dijadikan monumen peringatan tsunami.

    Kapal PLTD apung ini meski terkena terjangan ombak tsunami, kapal ini tetap utuh dan masih berbentuk seperti kapal besar pada umumnya
    Untuk menunjang PLTD apung sebagai monumen  tsunami, pemerintah provinsi Aceh membuat taman edukasi di sekitar PLTD apung seluas 2 hektare. Taman edukasi ini dilengkapi dengan catatan-catatan informasi tsunami berikut foto-foto yang diabadikan saat bencana itu terjadi. Jembatan-jembatan juga dibangun agar pengunjung dapat menikmati wisata di PLTD Apung dari segala sisi.


    Jembatan dan Prasasti jam bundar di lihat dari kapal apung
    Sumber foto: koleksi pribadi

    Tidak jauh dari PLTD, terdapat sebuah prasasti setinggi 2,5 meter.  Prasasti berbentuk jam bundar itu menunjukkan waktu jam 07.55WIB, tepat ketika gelombang tsunami menerjang Aceh. Pada miniatur gelombang tsunami juga terdapat gambar timbul berbentuk rumah dan orang hanyut tersapu tsunami.
    Wisatawan lokal sedang berfoto di prasasti jam bundar
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Jam berkunjung PLTD Apung
    Sumber Foto: Koleksi pribadi




    Tips Liburan Seru Tanpa Drama di Banda Aceh

      Menikmati kopi di salah satu sudut di Kota Banda Aceh           Siapa yang tidak sabar menunggu liburan datang? Libur akhir tahun adalah m...