Museum Tsunami dengan konsep Rumoh Aceh as Escafe Hill Sumber foto:Koleksi pribadi |
Tsunami.
Kata itu begitu asing di teligaku hingga aku melihat dan merasakannya sendiri
dahsyatnya Tsunami di Banda Aceh 26 Desember 2004. Saat itu aku sedang berada
di wartelku di jalan T. Nyak Arief dekat asrama haji. Tiba-tiba saja
terjadi gempa.
Tanpa ada
yang mengkomando semua orang keluar dari bangunan dan diam di halaman rukonya
masing-masing. Gempa kali ini berlangsung lumayan lama sekitar 5-7 menit,
goncangannya sangat kuat bahkan untuk berdiri tegak pun tak bisa tanpa ada
penopang.
Setelah
gempa selesai, semua orang kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa
termasuk aku (Aceh memang rawan gempa, jadi sepertinya semua orang sudah
terbiasa dengan gempa). Tetanggaku berinsiatif mersurvey keadaan
sekeliling, ternyata banyak juga bangunan yang roboh akibat gempa
terutama bangunan ruko.
Tak lama
kemudian, tiba-tiba saja ada orang yang berteriak “air laut naik, air laut
naik.” Laut dimana, kita dimana. Itu pertama kali yang terlintas di kepalaku.
Tapi belum lagi habis heranku tiba-tiba saja ada air berwarna hitam pekat
langsung menerjang pom bensin Jeulingke serta menyeret mobil yang
terparkir di depannya hingga terbalik dan terhempas ke pagar asrama haji.
Aku tak
tahu bagaimana nasib orang yang berada di pom bensin atau di asrama haji.
Karena lagi-lagi tanpa dikomando semua orang yang melihat kejadian itu langsung
mencoba menyelamatkan diri dengan lari menjauh dari air tsunami menuju prada.
Saling
dorong dan ada juga yang menendang itu yang kurasakan ketika berlari
lebih tepatnya berjalan cepat menyusuri jalan di prada ketika tsunami
terjadi. Semua panik dan tentu saja ingin selamat. Walau pun kawasan peurada
juga sebenarnya tidak cukup aman. Karena air mengepung daerah ini
dari dua arah Lamyong dan Tibang.
Akhirnya
setelah bersusah payah berdesak-desakan di sepanjang jalan di
prada. Sampai juga aku ke rumah. Segera aku menyuruh semua keluargaku
untuk mengungsi karena air laut naik, awalnya mereka tidak percaya tapi melihat
semua orang yang lewat depan rumah kami seperti orang ketakutan dan terburu-buru
mereka mengikuti saranku.
Aku tak
tahu tetangga-tetanggaku apa semuanya sudah mengungsi atau belum, keadaan hari
itu hampir semua orang sibuk memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Aku
dan keluargaku orang terakhir yang mengungsi di lorong Durian peurada utama,
air tsunami hanya berjarak kurang lebih dua meter tepat di
belakang. Jujur kami tidak tahu harus mengungsi kemana.
Jalan
menuju Lamgugob juga sudah ditutup ada dua orang hansip yang berjaga dan
mengarahkan kami ke lorong kelapa, katanya Lamgugob juga sudah naik air dari
Lamyong. Bingung masih melanda kemana kami harus mengungsi, kami melangkah
mengikuti jejak-jejak kaki orang-orang yang berada di depan kami menuju
Mesjid di lrg. Kelapa.
Selama di
Mesjid berkali-kali gempa terus terjadi dan bangunan di lantai satu mulai penuh
dengan air. Ketakutan dan pasrah berbaur menjadi satu. Apakah bangunan mesjid
ini tidak akan roboh? Apakah air tsunami itu akan terus naik hingga ke lantai
dua? Kudengar semua orang berdoa dan adzan dikumandangkan. Semua orang yang
mengungsi di mesjid memiliki sorot mata yang sama pasrah hanya itu bisa yang
kami lakukan.
Itu hanya sepenggal ceritaku dan kepanikan yang
terjadi ketika tsunami. Ternyata gempa yang berpusat di 32 kilometer dari
Pantai Meulaboh dan berkekuatan 8,9 skala Richter telah
memicu gelombang lebih dari 30 meter, berdampak ke 14 negara
dan menewaskan 230.000 orang yang lebih darii separuhnya dari Aceh
(kompas.com).
Harusnya
Indonesia sebagai negara yang berada pada lempengan bumi yang sangat
rentan akan terjadinya bencana gempa atau “Ring of Fire” membuat
kurikulum khusus mengenai bencana dan cara menghadapinya sejak dini di
sekolah-sekolah seperti yang dilakukan Jepang. Dengan harapan dapat memperkecil
angka kematian ketika terjadi bencana. Bencana tidak dapat
dicegah namun dampaknya dapat diminimalisir.
Untuk mengenang kembali bencana alam tsunami
yang maha dashyat di Nanggroe Aceh Darussalam dibangun "Museum Tsunami
Aceh." Museum ini dibangun selama masa Rekonstruksi Aceh
melalui sayembara desain, museum ini memiliki banyak fungsi antara
lain:
1. Sebagai objek sejarah,
dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran mengenai
bencana tsunami.
2. Sebagai simbol kekuatan
masyarat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
3. Sebagai warisan kepada
generasi mendatang bahwa di daerah Aceh pernah terjadi tsunami.
4. Untuk mengingatkan
bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang menguncang wilayah Indonesia.
5. Sebagai pusat evakuasi
jika bencana tsunami datang atau sebagai escafe building
Museum Tsunami Aceh yang dibangun dengan konsep design "Rumoh
Aceh as escape hill" hasil karya Ridwan Kamil atau lebih dikenal dengan
nama Pak Emil, merupakan proyek paling emosional yang sangat sulit baginya,
karena merancang Architecture of Meaning dan dalam pengerjaan desainnya
beliau menginginkan rancangan yang penuh makna baik itu di dinding,
kolom, ornamen maupun di setiap gelap-terang ruangnya.
Jalan masuk Museum Tsunami
Sumber foto: Koleksi pribadi
|
Beliau melakukan pengamatan sebelum mendesain
dan menemukan fenomena bahwa masyarakat Indonesia jarang mengunjungi museum,
jadi beliau merancang sebuah museum yang juga menjadi hangout space sehingga
setiap saat ramai dikunjungi masyarakat.
Museum tsunami ini terdiri dari
4 struktur lantai. Lantai basement menggambarkan ruang terbuka yang
menggambil ide dasar dari rumah panggung Aceh sebagai contoh kearifan masa lalu
dalam merespon tantangan dan bencana alam.
Ruang terbuka ini dapat dimanfaatkan
sebagai ruang publik dan jika terjadi banjir atau tsunami, maka laju air
yang datang tidak akan terhalangi. Lantai dua tempat untuk mengetahui tsunami
secara sains agar masyarakat bisa terdukasi bila di kemudian hari terjadi
tsunami lagi. Rooftop bagian atas bangunan ini merupakan tempat evakuasi yang
mampu menampung 1000 orang saat tsunami datang.
Museum ini diresmikan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 23 Februari dengan 55 koleksi di dalamnya berupa 7 unit
maket, 22 unit alat peraga dan 26 buah foto atau lukisan yang menggambarkan
keadaan tsunami aceh. Sejumlah koleksi ruang simulasi gempa, alat peraga rumah
tahan gempa dan rumah tak tahan gempa serta alat perga gelombang tsunami juga
terdapat di sini.
Alat simulasi gempa di Museum Tsunami
Sumber foto: Koleksi pribadi
|
Alat peraga sangat membantu memberi gambaran mengenai tsunami Sumber foto: Koleksi pribadi |
Dari
arah luar terlihat museum tsunami ini menyerupai kapal dengan sebuah mercusuar
berdiri di atasnya, Dengan dinding interiornya yang menggambil filosofi tari
saman untuk menunjukan konsep hubungan manusia dengan manusia
(hablumminannas) dalam Islam. Sedangkan interior museum tsunami menggambil
filosofi sebagai berikut:
Space
of Fear (Lorong Tsunami)
Tsunami passage Museum Tsunami Sumber foto: Koleksi pribadi |
Ketika
pertama kali kita memasuki ruangan museum kita akan disambut oleh suara gemuruh
air dari tsunami passage. Area penerima ini berupa koridor
sempit dengan panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m melambangkan tingginya
gelombang tsunami yang terjadi tahun 2004 silam. Gemuruh air mengalir di kedua
sisi dinding museum dan cahaya remang-remang cenderung gelap mendeskripsikan
rasa takut pada saat terjadinya tsunami. Ruangan ini sangat sulit diabadikan
dengan kamera karena pencahayaannya yang sedikit dan percikan air dari kedua
koridor ini takutnya akan merusak kamera.
Space of Memory
Memorial Hall atau
ruang kenangan merupakan area bawah tanah yang dilengkapi dengan 26
monitor sebagai lambang dari kejadian tsunami yang melanda Aceh. Sebanyak 40
gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide berupa foto para korban dan
lokasi bencana yang melanda Aceh. Ketika memasuki ruang dengan dinding kaca ini
pengunjung seolah-olah tengah berada di dalam laut, dilambangkan
dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut,
monitor-monitor di dalam ruangan menggambarkan batu di dalam air dan
pencahayaan dari lubang-lubang sh reflecting pool yang berada di atasnya
sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar laut.
Space of Sorrow (Ruang
Sumur Doa)
Blessing Chamber Museum Tsunami Sumber foto: Koleksi pribadi |
Blessing Chamber, area ini merupakan ruang transisi sebelum memasuki
ruang-ruang kegiatan non memorial. Ruangan ini berbentuk silinder
menyerupai sumur dengan cahaya remang dan terdapat kurang lebih 2000
nama-nama korban tsunami terpatri di dindingnya. Ruangan ini
difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan dianjurkan pengunjung yang
memasuki ruangan ini mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan
masing-masing.
Space of Hope Museum Tsunami Sumber foto: Koleksi pribadi |
Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya(
hablumminallah) yang dilambangkan dengan kaligrai Allah yang tertera di atas
cerobong The light of God dan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an
mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan kepala Allah (penciptanya).
Space of Confuse (Lorong Cerobong)
Lorong ini didesain dengan lantai berkelok dan dan tidak
rata sebagai bentuk filosofi rasa bingung dan putus asa ketika tsunami terjadi.
Bingung hendak menyelamatkan diri kemana, bingung kehilangan sanak keluarga dan
harta benda. lorong gelap yang membawa pengunjung menuju ke atrium yang penuh
cahaya melambangkan harapan baru masyarakat Aceh ketika dalam memulihkan
kondisi fisik dan psikologi usai bencana yang mengalami trauma dan
kehilangan besar.
Space of confused Museum Tsunami Sumber foto:Koleksi pribadi |
Space of Hope
(Jembatan Harapan)
54 bendera negara di Museum tsunami Sumber foto:Koleksi pribadi |
Atrium of Hope, area ini berupa ruang atrium yang besar sebagai
simbol dari harapan dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung
akan menggunakan ramp untuk melintasi kolam. Pengunjung dapat melihat 54
bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera
sama dengan jumlah batu yang tersusun di pinggir kolam. Di setiap bendera dan
batu terdapat kata "Damai" dengan bahasa dari masing-masing negara.
Bendera negara di batu dan di skylight Museum Tsunami Sumber foto:koleksi pribadi |
Atrium hope Museum tsunami Sumber foto:Koleksi pribadi |
Dengan tidak mengenakan biaya masuk alias gratis, museum ini
selalu ramai dikunjungi wisatawan, baik dari dalam dan luar negeri.
bahkan menjadi salah satu spot yang cukup populer bagi
fotografer prewedding. amun sayang sekali, museum ini hanya buka dari hari
senin-sabtu, sedangkan dihari minggu tutup. Padahal dihari minggu merupakan
hari dimana para pekerja libur dan merupakan hari wisata bagi keluarga.
"Bencana tidak bisa dihadang tapi kita bisa mengantisipasi
dampaknya berdasarkan pengalaman bencana sebelumnya. Kita tidak tahu kapan
terjadi bencana, tapi kita bisa mempersiapkan diri dengan pengetahuan"