We should take to heart the lessons of past disasters to prepare
for future disasters. Torahiko
Terada (1878-1935)
Menurut Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) ancaman bahaya atau bencana ini dibedakan menjadi
lima kelompok yaitu:
- Bahaya/bencana beraspek
geologi, seperti: gempa bumi, tsunami, gunung api, dan tanah longsor.
- Bahaya beraspek biologi,
seperti wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman dan hewan/ternak.
- Bahaya beraspek teknologi,
seperti: kecelakaan transportasi, kecelakaan industry dan kegagalan
teknologi.
- Bahaya beraspek lingkungan,
seperti: kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.
- Bahaya beraspek sosial seperti
kerusuhan, tawuran antar warga atau kelompok dan perang.
Indonesia merupakan negara yang paling rawan
bencana alam di dunia demikian menurut United Nations International Strategy
for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional
Pengurangan Risiko Bencana). Karena secara geografis Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng
tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik. Indonesia juga termasuk dalam wilayah cincin api (
Ring of Fire)
Tidak hanya bencana alam, bencana non alam
seperti kebakaran hutan, epidemi penyakit serta bencana sosial yang diakibatkan
serangkaian peristiwa oleh ulah manusia berupa konflik sosial antar
kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan yang tterus menghantui.
Faktanya meski sudah
tahu negeri kita tercinta ini rawan bencana tapi pengetahuan masyarakat
mengenai kesiap siaga bencana masih minim sekali. Padahal peranan masyarakat
itu sangat penting dalam mendukung berbagai kegiatan pengurangan resiko
bencana yang dijalankan pemerintah setempat guna mewujudkan kota siaga yang
masyarakatnya mampu mencegah, melakukan mitigasi dan siap siaga menghadapi
bencana.
Seperti di Aceh
salah satu kota di nusantara yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah ini, berpotensi terhadap bencana alam, non alam dan sosial. Beberapa bencana
alam dimulai dari angin puting beliung, tanah longsor, banjir, gempa bumi,
letusan gunung api hingga tsunami pernah terjadi di daerah ini.
Penanaman kembali hutan bakau sebagai zona penyangga untuk mengurangi
daya rusak tsunami sumber foto: Koleksi pribadi
|
Namun
seolah lupa mengkisahkan pada generasi
selanjutnya bencana yang pernah terjad, sehingga kurangnya antisipasi dari ancaman bahaya tinggal di daerah rawan
bencana. Bencana yang terjadi dianggap sudah
takdir yang Kuasa dan manusia tidak bisa
berbuat apa-apa.
Padahal, jika mau bersungguh-sungguh mengatasi masalah dan tidak hanya pasrah kita bisa memulai dengan hal yang mudah seperti storytelling pada anak-anak atau dengan pendidikan bencana dari usia dini seperti yang dilakukan di Jepang.
Padahal, jika mau bersungguh-sungguh mengatasi masalah dan tidak hanya pasrah kita bisa memulai dengan hal yang mudah seperti storytelling pada anak-anak atau dengan pendidikan bencana dari usia dini seperti yang dilakukan di Jepang.
Hingga
akhirnya kita baru sadar dan mulai bebenah setelah gempa 9,1 SR terjadi menyebabkan Tsunami pada
tanggal 26 Desember 2004 yang tercatat sebagai salah satu gempa terbesar yang
pernah terjadi sejak tahun 1900 menurut US Geological Survey yang membuat seluruh mata dunia tertuju ke
Indonesia.
Ada beberapa faktor
penyebab banyaknya korban jiwa dan harta saat bencana gempa dan Tsunami, tiap kawasan terdapat perbedaan, namun dapat
dirangkum penyebabnya sebagai berikut:
- Faktor kesadaran /pengetahuan warga terhadap bencana. Warga tidak menyangka/mengetahui akan datangnya Tsunami, sehingga setelah terjadi gempa sebagian warga masuk lagi ke dalam rumah. Warga yang berada di luar rumah, melihat banyaknya warga desa lain berlarian tidak tahu apa yang harus dilakukan.Sebagian warga tidak percaya informasi peringatan (teriakan) bahwa Tsunami datang. Warga yang tersadar akan datangnya Tsunami sudah tidak cukup waktu untuk menyelamatkan diri karena Tsunami sudah masuk ke desa.
- Jauh dan minimnya tempat yang tinggi sebagai tempat penyelamatan.
- Tidak adanya jalan tembus ke desa tetangga yang jauh dari arah gelombang Tsunami, kalaupun ada jaringan jalan terlalu sempit, arah jalan yang memutar terlalu jauh danberkelok sehingga tidak bisa cepat menuju tempat penyelamatan.
- Jaringan jalan desa yang relatif sempit, berkelok dan jalan buntu atau banyak permukiman yang tidak terakses jalan, sehingga banyak warga yang terjebak, terhimpit dan lain-lain.
- Tidak tersedianya tempat penyelamatan berupa tempat yang tinggi untuk menghindari tsunami ataupun lahan terbuka untuk menghindari gempa.
Kebun warga di kawasan Desa Ruyung Aceh Besar yang bisa dijadikan bukit evakuasi hanya
saja terkendala kepemilikan sehingga tidak bisa untuk akses bersama Sumber foto: Koleksi pribadi
|
- Tidak adanya penghalang untuk meredam bongkahan bangunan, pohon-pohon dan lain-lain yang terbawa gelombang tsunami.
Barak pengungsi Tsunami Sumber foto: Koleksi pribadi |
Namun masalah tak hanya sampai disitu setelah bantuan datang pun
timbul masalah baru yaitu ketidakpuasaan sebahagian warga terhadap kualitas
rumah bantuan yang diterima dibandingkan dengan rumah bantuan warga lain dari donatur lain. Hal ini terjadi
karena tidak ada standar rumah bantuan yang sama baik model, besar rumah dan
kualitas yang berbeda sehingga timbul kencemburuan sosial terhadap bentuk bantuan
yang beragam.
Bentuk rumah bantuan untuk korban Tsunami di Desa Ruyung Sumber foto: Koleksi pribadi |
Tentu saja mereka bersyukur menerima bantuan tapi fithrah
manusia pasti ingin mendapatkan yang terbaik. Masalah lainnya sanitasi di
perumahan yang dibangun sepertinya kurang efektif karena terjadi penurunan muka
tanah jadi ketika air pasang naik dan sebentar saja hujan deras kawasan desa
tergenang air.
Kualitas kayu yang tidak sesuai standar untuk ventilasi jendela di salah satu rumah bantuan korban tsunami Sumber foto: Koleksi pribadi |
Kualitas kayu kurang bagus pada atap di salah satu rumah bantuan Sumber foto: Koleksi pribadi |
Belum lagi masalah bantuan yang penyalurannya tidak merata serta pembebasan lahan untuk membuat rumah bagi korban tsunami yang tempat tinggalnya tidak layak huni lagi. Betapa kompleksnya permasalah yang ada. Andai saja kita telah
dilatih menyiapkan diri menghadapi bencana mungkin permasalahan yang timbul
tidak serumit ini.
Drainase yang tidak berfungsi dengan baik karena penurunan permukaan tanah di Desa Pasi Beurandeh sumber foto: Koleksi pribadi |
Memang secara
alamiah semua orang mempunyai naluri dalam menyelamatkan diri dari bahaya.
Namun, dengan memahami cara-cara menghadapi bencana alam secara cerdas
dan sistematis maka risiko bencana dapat ditekan serendah mungkin dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek dalam pengurangan resiko
bencana.
Untuk tahap awal kita
bisa memulai dengan mengadakan penyuluhan dan pendidikan bencana dengan
penyebaran informasi mengenai jenis bencana, potensi bencana, dampaknya dan
cara-cara penanggulangannya.
Penyebaran informasi ini
bisa dilakukan dengan menggunakan sarana dan fasilitas alat komunikasi, seperti
HP, internet, radio, televisi, media cetak, begitu juga media dan forum
lainnya, jika perlu ada kurikulum khusus di sekolah-sekolah mengenai cara-cara
menghadapi bencana.
Sekalipun teknologi dan
peradaban sudah maju pesatnya, namun tak bisa menolak datangnya bencana.
Bencana memang bisa diprediksi, namun tak bisa diperkirakan kapan tepatnya
datang bencana tersebut. Namun kita bisa mengantisipasi dampaknya
dengan dasar-dasar ilmu yang kita
miliki untuk mengurangi resiko bencana.
Referensi:
http://www.tdmrc.org
Referensi:
http://www.tdmrc.org
Tulisan ini diikutsertakan dalam