“Susah benar cari calon suami sekarang ini. Ada yang baik
tapi tampangnya pas-pasan. Ketemu yang
ganteng tapi pacarnya ada tiap tikungan jalan. Giliran ketemu yang
nyaris sempurna dari segi penampilan dan wawasan, eh penghasilannya kurang.”
“Matre kamu!” Jawabku sambil ngakak
“Eits, realistis itu namanya! Memangnya kamu mau menikah dengan pria yang
tidak mempunyai penghasilan? Mau merid
dengan modal cinta doank? Jangan naif deh! Hari gini merid
modal cinta doank yang benar saja.”
Pendapat Rini memang ada benarnya. Banyak pernikahan yang kandas hanya
karena kurangnya materi. Tetapi banyak juga orang yang bergelimang harta justru
pernikahannya tidak bahagia. Di situ
perlunya cinta untuk menguatkan.
“Eh, ditanya malah bengong. Kriteria calon suamimu kaya gimana? Aku jadi
penasaran.”
“Kalo aku sih, yang penting kepribadiannya. Rumah pribadi, mobil pribadi...”
jawabku asal, sukses membuahkan sebuah cubitan di pinggang.
“Yei, diajakin ngomong serius juga. Mentang-mentang teman cowoknya banyak.
Tinggal dipilih mana yang suka. Trus merid
deh.”
“Bukan gitu Rin, usia kitakan masih muda baru juga dua puluh tahun untuk
apa memilirkan hal seperti itu sekarang.
Kalo kata Dewa19, jalan kita masih panjang.”
“Justru dari sekarang kita masih bisa pasang kriteria yang tinggi. Masih
banyak pilihan yang datang. Kalo umur kita dua tujuh, mulai obral deh
kriterianya. Siapapun yang datang asal laki-laki dan baik kita terima daripada
dibilang perawan tua.”
“Memangnya barang diobral? Jodoh tuh sudah ada yang mengatur. Santai
sajalah, semua sudah diciptakan berpasangan. Ada siang dan malam, Ada laki-laki
dan wanita.”
“Iya deh, yang punya banyak calon. Bisa tenang soal jodoh. Ngomong-ngomong
aku balik dulu yaa Ria, sudah mau
magrib. Takut kemalaman sampai di rumah.”
**&&&**
Dua tujuh kini umurku. Masih sendiri. Sementara satu persatu sahabatku sudah
menemukan pasangan hidupnya. Seringkali undangan yang datang justru menambah
rasa kesepian di hatiku.
Dadaku sesak dengan campuran rasa antara bahagia dan iri. Iri karena pencarian
mereka akan jodoh pemberian Tuhan telah berakhir. Sedangkan aku masih
meraba-raba siapa sebenarnya belahan jiwa. Tak terasa air mata menepi di pelupuk
mata.
“Di tempat kerjamu orang laki-lakinya banyak, apa tidak ada satu yang kena
di hati? Kamu terlalu milih-milih jodoh. Lihat kawan-kawanmu sudah menikah
semua. Rini malah anaknya sudah dua. Kamu kapan?”
Pertanyaan yang sering kudengar
akhir-akhir ini. Baik itu dari orang tua, saudara bahkan teman-teman. Ada yang bersimpati, dengan menawarkan kenalannya yang
masih lajang. Ada juga yang hanya menyalahkan. Gelisahku karena lingkungan.
Mencari jodohkan tak semudah membalik telapak tangan. Haruskah kumenerima siapa
saja yang datang demi mengejar gelar istri.
**&&&**
Berbagai cara sudah kuterapkan dalam
mencari jodoh. Dari baca buku, berdoa, travelling.
Bahkan aku yang paling cuek dengan penampilan sekarang mulai rajin membersihkan
wajah dan melakukan perawatan ini dan itu. Sungguh suatu keajaiban tapi
belum juga ada tanda-tanda bertemu
jodohku.
Aku tetap berbaik sangka dan terus memperbaiki diri. Menemukan jodoh
ternyata seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami...
Harapanku akan jodoh sebenarnya sederhana sekali. Aku ingin menikah dengan
orang yang bisa membuatku tertawa, sesedih apapun aku. Membuatku merasa cantik,
sejelek apapun aku. Dan membuatku merasa kaya semiskin apapun aku.
Dan dari segi penampilan suamiku itu harus menenangkan hati ketika kulihat.
Suaranya harus bagus jadi aku tak akan bosan mendengar jika dia menasehati. Satu
lagi dia harus pandai mengaji dan wawasannya luas. Sederhanakan
kriteriaku?
**&&&**
Hari berganti minggu, minggu
berganti bulan. Pekerjaan yang menumpuk membuatku sedikit lupa masalah jodoh. Semua
pekerjaan dituntut segera diselesaikan. Sungguh sangat melelahkan. Stress
melanda, mukaku yang biasa mulus kini berhiaskan jerawat batu. Cukup membuat kesan merona di kedua pipi. Apalagi
setelah project ini kontrak kerjaku selesai. Benar-benar hidup yang sempurna.
Tiba-tiba di yahoo messeger ku
terlihat Eni mengirim pesan
“Rie
bisa nggak ke tempatku sekarang? Ada temanku mo kenalan.”
” Aduh Eni, kerjaanku lagi banyak dan aku juga nggak pede
mukaku hancur begini”
“Ya udah kalau gitu, ini Yahoo messegernya jangan lupa
diadd”
“Oke” jawabku
singkat
Akupun melanjutkan pekerjaanku, ada-ada saja si Eni mau kenalin cowok pas mukaku hancur nggak
karuan kaya gini. Baru lima menit aku meneruskan pekerjaan, yahoo messegerku mengirimkan pesan Eni
lagi.
“Sudah di add belum Yahoo messeger
temanku? jangan lupa diadd yaa”
Ya ampun si Eni nggak sabaran amat jadi orang. Memang dikiranya mudah apa
nge-add orang jadi teman. Hanya
sekedar klik tanpa pertimbangan. Zaman sekarang nemu orang baik di dunia nyata
tuh jarang terjadi. Apalagi ini, kenalan lewat dunia maya. Apa sih yang diharap
dari perkenalan ini. Tahu orangnya juga tidak.
“Cring“ yahoo messeger kuberbunyi
lagi. Eni mengulang pesannya. Menyadarkanku dari lamunan. Apa sih kelebihan
temannya. Kok ngotot banget Eni, menyuruh aku add dia jadi teman. Bimbang masih melanda, tapi kuputuskan untuk
membuka hati kali ini.
Tak ada salahnya mencoba. Toh kalau memang tidak sesuai tinggal ku remove saja. Kenapa harus khawatir berlebihan hanya karena
pernah disakiti sekali. Untuk menyembuhkan luka cinta harus diobati dengan
cinta juga. Mungkin saja kali ini memang berjodoh.
"Iya sekarang ku add”
“Hai aku disuruh Eni nge add kamu, Kenalin namaku Ria”
“Hai juga namaku Julio”
Dan obrolan kita berlanjut dengan serunya. Belum pernah ada laki-laki yang
bisa menandingi kumemberi argumen sebelumnya. Kita mulai bertukar nomor hp dan fb(facebook) supaya tahu rupa
masing-masing.
Foto profilnya biasa saja, tak ada getar ketika melihatnya. Suka mendaki
gunung, lulusan telekomunikasi. Lumayan
dari segi tampang. Sepertinya orang yang menyenangkan. Terlihat dari
komentar-komentar temannya difacebook.
Hidupku mulai berwarna lagi. Tapi
aku masih ragu, jika belum bertemu langsung. Bisa saja foto yang
ditampilkan palsu. Atau hasil edit dengan photoshop
sehingga tak berbekas aslinya
bagaimana. Mungkin juga dia menyangka hal sama. Mengira diriku cantik dan manis
sedemikian rupa. Walau sudah kujelaskan wajahku hancur sekarang.
Aku tidak mau buang-buang energi dari perkenalan ini. Sejak awal sudah
kutegaskan, mencari suami bukan pacar. Lebih baik terluka sekarang daripada
ketika perasaanku tumbuh lebih dalam akan lebih sulit untuk mengobatinya/
Seminggu setelah kami berkomunikasi lewat yahoo messegger dan hape.
Kami memutuskan untuk bertemu langsung. Pertemuan ini bisa menjadi awal sebuah
cerita baru. Tapi bisa juga akhir cerita yang baru saja terjalin.
Aku mulai memikirkan hal yang terburuk yang mungkin terjadi. Seperti jika nanti
dia datang tapi berpura-pura tidak mengenaliku ketika kami bertemu. Atau bahkan
dia tak datang sama sekali seperti janjinya.
Hei laki-laki di depanku sepertinya aku mengenalnya. Baju kemeja
kotak-kotak berwarna biru dengan tas ransel hitam. Itu dia. Lebih tampan
aslinya daripada foto yang dipajang difacebook.
Seperti ada angin yang berhembus ketika dia berjalan. Membuatku senyum
sendirian.
Sengajaku membawa buku untuk menutupi wajah. Jadi aku bisa memperhatikan
gerak-geriknya dengan leluasa. Hape
kubuat posisi silent, berjaga-jaga
kalau dia menghubungi jangan sampai ketahuan aku sudah ada disini.
Kuputuskan untuk duduk didalam cafe, dengan pemandangan langsung ke taman.
Dari situ lebih leluasa mengamatimu yang
sedang mencariku di setiap sudut taman. Telingamu tak lepas dari hape mencoba menghubungi, mencari tahu
dimana posisiku sekarang. Untung hapeku sudah dalam posisi silent.
Sungguh kutak sanggup menahan rasa geli. Tak kuhiraukan tatapan bingung penggujung
cafe lainnya melihatku senyum-senyum sendirian. Padahal di sekitar tidak ada
pemandangan yang lucu.
Ups, tak sengaja kita saling bertatap mata. Segera kututupi mukaku dengan
buku, berpura-pura membaca. Semoga tidak
ketahuan. Kau melewatiku begitu saja. Lega...
Ada rasa menjalar diam-diam dalam hati.
Dejavu, sungguh aneh sekali rasa ini. Baru pertama kali melihatmu tapi terasa
telah lama kita saling mengenal. Tak pernah kumerasakan perasaan ini sebelumnya.
Hei, kau berbalik arah tiba-tiba tepat ke arahku. Bagaimana lagi
kumenghindarimu.
“Ria?” tanyamu padaku sambil menyodorkan tangan mengajak salaman.
“Bukan” jawabku. Tak kuhiraukan tangamu yang mengajak salaman.
“Pasti Ria nih” Kau bersikukuh sambil duduk dibangku sebelahku. Tampak
geram diwajahmu. Aku hanya senyum. Sudah ketahuan, yaa lebih baik terus terang.
Hanya perlu seminggu sejak pertama kali bertemu kau kenal keluarga besarku. Dan seminggu kemudian
kau kenalkan aku pada ibumu. Dan kini aku telah menjadi istrimu, bahagia
hatiku. Bertemu jodohku dengan satu klik.
Dan setelah menjadi istrimu baru aku menyadari begitu banyak alasan dan
cara yang pasti membuat kita bertemu. Mulai dari kesamaan hobi, teman,
lingkungan dan pekerjaan. Jodoh memang tak mungkin salah apalagi tertukar.
**Tamat**