Showing posts with label Banda Aceh. Show all posts
Showing posts with label Banda Aceh. Show all posts

Tuesday, 29 April 2014

Tsunami Site: Electrical Generator ship Banda Aceh VS Kyotokumaru Japan


Tsunami Site: Electrical Generator ship Banda Aceh
Photo Source: Personal collection
Right on 26 December 2014 is the momentum of the Acehnese people in commemorating 10 years of the Tsunami . Still fresh in our memory about the enormity of this disaster , but after 10 years have passed , we have to see the future.
.
Work harder to build Aceh can be done by all parties , not only of the Government , the private sector such as small home industry will certainly be one of the sectors that deserve to be prioritized . Aceh had receive a lot of support from foreign donations in terms of community empowerment during post-tsunami, of course, we should appreciated that  by working hard and diligently to create a sustainable society
Model of Electrical Generator Ship
Photo Source: Personal collection
 .
This is very different from what happened in Japan after the 2011 earthquake and tsunami that hit the Tohoku region (northern Japan) . It can be said that they receive very little support from outside / foreign and rely more on resources from their own country. Despite losing of their property but the Japanese people are very patient, does not look explosive emotions, they still retain cultural queued for various basic needs, even in any situation.

Tsunami Tourism Site
In Banda Aceh there are a few tsunami sites which attracted tourists both local and foreign to visit. Such as Floating Ship on the roof top in Lampulo , Electrical Generator ship in Punge , Tsunami Museum , etc. .
In other countries, there is not much site regarding on Tsunami memorial site or building. If we compare with Japan, after the earthquake and tsunami after 2011, it can be said there is no more building or the remnants of the disaster that made as memorial. Due to the basic of Japanese culture which is a bit sentimental and have a deep impression of a thing and did not want to remember it again if these considered as unfavorable things.
Kyotokumaru
Photo source:AFP
 For example , in the port town named  Kesennuma , there was a large ship with 330 tons “Kyotokumaru” is slightly smaller than the Electrical Generator ship in Punge , but what happened ? At first, there were pros and cons between those who wish to keep it to be one proof of the tsunami and others who feel sad  (because every time  they see the ship will remind them of the missing relatives).

To make a decision, the local government of Kesennuma city arranges a referendum among citizens of the city, and the results can already guess where the majority (almost 70 %) of community wanted that the big ship for demolish.
 .
Indeed, many parties who deplore the decision of Kesennuma city residents, but for them life must go on, although there is no remnants of the disaster that can be used as a warning for future generations, which might be thought that the huge tsunami it just a fairy tale sheer.

Tsunami Site: Electrical Generator ship
Photo Source: Personal collection
We should feel lucky living in Aceh, where there are a lot of memorials that can give lessons for the next generations and of course the tsunami sites need to be maintained and kept together.

For example: 2,600 tons Electrical Generator ship belongs to PT PLN (National Electrical Company) was initially brought to Banda Aceh to support the electricity supply in Banda Aceh by 10, 5 Megawatts. Due to the conflict in Aceh, there were so many towers of electricity broken and power supply is interrupted. This Ship which has ​​1,900 square meters and 63 meters length had swept
away around 5 km from the Ulele coast to  Punge Blang Cut village in Banda Aceh. Until now Electrical Generator ship still in the city center and used as tsunami memorial.
Visitor Electrical Generation Ship
Photo Source: Personal collection

Even this Electrical Generator ship exposed to the brunt of the tsunami waves, the ship still in a good shape. Banda Aceh city government make 2 hectares educational park around this site. This educational park is equipped with tsunami information records following by photographs are captured when the disaster happened. Bridges were also built so that visitors can enjoy sightseeing from all sides.

Not far from the Electrical Generator ship, there is an inscription as high as 2.5 meters. Inscription round shaped clock that shows the time clock 07.55WIB, right when tsunami waves struck Aceh. In miniature tsunamis are also embossed image and the shape of a house which was swept away by the tsunami.



 
Inscription bridge and round the clock monument view from electrical generator ship
Photo Source: Personal collection

Visiting hour
Photo Source: Personal collection


Sunday, 27 April 2014

"Zero nol tsunami" A Place To Remember

Kalau ada tempat yang selalu membuatku ingin kembali datang lagi, tempat itu adalah pantai. Terutama pantai Ulee Lheue tempat yang sekarang dikenal dengan sebutan zero nol tsunami di Banda Aceh. Banyak kenangan yang tersimpan di sana. Orang-orang yang pernah tinggal di sana, kampung nelayan, kebersamaan yang pernah terjalin di pantai itu pemandangannya semuanya
Ulee Lheue di situ aku pernah melakukan survey di perkampungan nelayan  untuk tugas kuliahku. Rumah-rumah kayu nelayan bejejer di tepian pantai dekat jembatan, ramahnya penduduk kampung nelayan melayani survey kami, walau pun kami tak memberi imbalan apa-apa untuk survey itu hanya sekedar ucapan terima kasih.
Ulee Lheue tempat di mana aku dan sahabatku sering menghabiskan waktu bersama. Menikmati pantainya atau mengunjungi sahabat kami yang kebetulan tempat tinggalnya di sana. Banyak cerita terjalin di sana. tentang orang-orang Aceh yang merayakan meugang dengan sebelum ramadhan dengan berenang di pantai. Atau kisahku yang ditolong nelayan saat berenang ketika ombak besar. Semua  begitu indah menjadi kenangan.
Suasana di salah-satu pantai di Aceh
Sumber: Koleksi pribadi
Jangan bayangkan pantaiku seperti di Bali dengan semua orang menggunakan pakaian renang atau bikini bagi wanita. Orang Aceh sopan dan santun bahkan ketika mereka berenang pun masih menggunakan pakaian lengkap menjaga auratnya. Baju kaos beserta celana tak ada bikini di sini.
Bahkan ketika tsunami menyerang dari tempat ini. Menghancurkan semua perkampungan nelayan, rumah sahabatku, mereka yang hilang ditelan tsunami. Tempat ini menjadi saksi bisu keganasan tsunami Aceh lewat mesjidnya  yang tersisa dan  masih tegak berdiri.

Mesjid Baiturrahim Ulee Lheue
Sumber foto:https://pbs.twimg.com/media/BcYj95fCEAADRa4.jpg
Tsunami membuat trauma tersendiri buatku. Untuk beberapa lama aku sempat sangat takut ketika melihat air dalam jumlah besar seperti laut, bahkan walau itu hanya ada di layar kaca seperti  film 2012. Rasa cemas, was-was, takut bercampur jadi satu.
Kucoba berdamai dengan rasa takutku dengan kembali menginjak kaki  di pantai ini. Tanpa sadar semua kenangan akan tempat ini terkenang kembali menyisakan pilu di hati.
Tapi melihat ombak yang menyisir bebatuan di pantai dan kembali ke laut atau indahnya sunset di pantai ini membuatku sadar semua terjadi karena kuasa Ilahi. Semua yang hidup pasti akan kembali kepada-Nya ini hanya masalah waktu.

Sunset di Ulee Lheue
Sumber: Koleksi pribadi
Menanti sunset hobiku di pantai
Sumber foto: Koleksi pribadi
Pantai keindahannya selalu membuatku kagum, dan betah berlama-lama diam di sini menikmati sunset hingga dia menghilang. Bahkan ketika honeymoon pun pantai di Aceh menjadi destinasi utama kami. Bahkan ketika kami memiliki buah hati kuajarkan dia untuk mencintai alam dengan mengajaknya ke pantai.
Hidup dalam ketakutan itu sangat tidak nyaman  rasa takut bukan untuk dipelihara tapi dihadapi.  
Pantai Iboh  tempat honeymoonku
Sumber: Koleksi pribadi



Pertama kali Vinka ke pantai
Sumber foto: koleksi pribadi
Tulisan ini diikutsertakan dalam “A Place to Remember Giveaway”



Adakah Mesjid di kota Banda Aceh?



Kubah Mesjid Raya Baiturrahman dilihat dari  arah Taman Sari
Sumber foto: Koleksi Pribadi

Kota Banda Aceh yang terletak di paling barat Indonesia merupakan ibukota dari propinsi Aceh. Sejak jaman dahulu  kota Banda Aceh sudah ramai dikunjungi oleh para pedagang dari seluruh dunia. Setelah periode anemisme, propinsi  Aceh dipengaruhi oleh budaya Hindu yang masih dapat dilihat dari beberapa situs di Aceh Besar serta dari kebiasaan kebiasaan masyarakat yang masih tertinggal hingga kini. Setelah periode ini, maka masuklah periode dimana agama Islam masuk ke wilayah ini. Pada mulanya, arsitektur mesjid-mesjid di Aceh masih mempertahankan arsitektur Aceh kuno yang sangat dekat dengan kebudayaan Hindu, namun seiring berjalannya waktu, saat ini arsitektur kuno tersebut sudah sangat jarang sekali ditemukan. Arsitektur mesjid di Aceh lebih banyak dipengaruhi oleh Arsitektur timur tengah, maupun juga perpaduan diantaranya. Disamping itu juga muncul beberapa mesjid yang bertemakan bangunan-bangunan modern.
Berikut penulis akan mencoba mengulas beberapa Mesjid yang berada di kota Banda Aceh.

Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid yang terletak di pusat kota Banda Aceh ini pada mulanya memiliki desain khas Aceh kuno, namun setelah mengalami kerusakan parah akibat perang melawan Belanda, pihak Belanda mencoba mengambil hati rakyat Aceh dengan membangun kembali mesjid ini dengan Arsitektur yang baru.
Mesjid ini telah mengalami beberapa kali perluasan dari bangunan dasarnya yang berukuran 537,91 m2  menjadi  4.760 mdapat menampung hingga 9000 jama'ah. Dari mesjid  berkubah satu yang dibangun pemerintah Belanda di tahun 1879-1883 Hingga kini memiliki tujuh kubah, dan empat  menara.dan satu menara induk. Ruangan dalamnya yang dilapisi lantai marmer, buatan Italia. Membuat sejuk dan betah berlama-lama ketika berada di dalam mesjid.
Mesjid Raya Baiturrahman tahun 1881
Sumber foto: google

Tampak samping Mesjid Raya Baiturrahman 1881
Sumber foto: google


Tower Mesjid Raya Baiturrahman
Sumber foto: Koleksi pribadi
Mesjid Raya Baiturrahman di malam hari
Sumber foto: Koleksi pribadi
Mesjid Al Makmur 
Mesjid Al Makmur yang berlokasi di desa lamprit ini telah berdiri sejak 1979 namun  mesjid ini sempat rusak parah pada Desember 2014  karena dihantam oleh gempa dan tsunami yang dahsyat. Kemudian Pemerintah Oman memberikan bantuan untuk kembali membangun mesjid ini dengan lebih megah dan bergaya timur tengah, sehingga terkadang ada yang menyebutkan nama lain bagi Mesjid ini yaitu Mesjid Oman.
Mesjid Al Makmur di kala Magrib
Sumber foto: Koleksi pribadi
Mesjid Al-Makmur Lamprit
Sumber foto: Koleksi pribadi

Mesjid Baitul Musyahadah
Mesjid ini terletak di desa Geuceu Kaye Jato, kecamatan Banda Raya, arsitekturnya yang unik dan cukup menarik untuk disaksikan. Mesjid ini juga dikenal dengan nama Mesjid Teuku Umar atau Mesjid Meukeutop, dikarenakan bentuk kubahnya yang mengadopsi bentuk kopiah khas Aceh yang biasa dipakai oleh Teuku Umar dalam berperang melawan tentara Belanda. Dahulu lahan  Mesjid ini bmerupakan Taman Ghairah atau taman tempat bermain anak muda pada masa Kerajaan Iskandar Muda.

Tampak Kubah Mesjid Teuku Umar yang menyerupai kopiah khas Aceh
Sumber foto: Koleksi pribadi


Sisi lain dari  Mesjid Baitul Musyahadah
Sumber foto: Koleksi pribadi


Mesjid Besar Pahlawan
Mesjid ini terletak di desa Ateuk Pahlawan, persis di depan Taman Makam Pahlawan – Banda Aceh. Sejak awal dibangun, mesjid ini sudah bergaya arsitektur timur tengah. Posisinya yang cukup strategis membuat mesjid ini cukup ramai dikunjungi oleh umat muslim baik siang atau malam hari.
Mesjid Besar Pahlawan
Sumber foto: Koleksi pribadi

Mesjid Peunayong
Mesjid ini berdampingan dengan pasar Peunayong – Banda aceh, biasa digunakan oleh para pedagang di pasar peunayong untuk beribadah. Letaknya yang berada di pinggir sungai Krueng Aceh menambah komposisi keindahan dari mesjid ini.
Mesjid Peunayong
Sumber foto: Koleksi pribadi

Suasana di Sekitar Mesjid Peunayong
Sumber foto: Koleksi pribadi
Mesjid Baiturrahim
Mesjid ini terletak di desa Ulee Lheue, Meuraxa. Dibangun oleh Teuku Teungoh yaitu ulee balang kemukiman Meuraxa pada tahun 1343 H telah  mengalami beberapa kali renovasi. Pernah rusak parah ketika diterjang tsunami namun sekarang telah bisa dipergunakan kembali.
Mesjid Baiturrahim dari masa ke masa
Sumber foto:  http// kebudayaa.kemdikbud.go.id



Mesjid Teungku Dianjong
Mesjid ini terletak Peulanggahan, Meuraxa. Peulanggahan sendiri berasal dari kata persinggahan, karena dahulu tempat ini merupakan tempat persingahan bagi mereka yang menuntut ilmu. Pada mulanya mesjid ini berkontruksi dari kayu namun  hancur  diterjang tsunami dan menyisakan pondasinya saja.Kini telah dibangun mesjid baru  dengan kontruksi beton namun tetap mengikuti arsitektur traditional Aceh sebagaimana bentuk Mesjid Teungku dianjong sebelumnya.


Mesjid Teungku Dianjong dengan kontruksi kayu
Sumber foto:  http// kebudayaa.kemdikbud.go.id      
Mesjid ini pada mulanya dibangun sebagai tempat belajar(dayah/pesantren) yang didirikan oleh  Teungku Dianjong pada tahun 1769 M. Setelah kemerdekaan RI masyarakat setempat mulai menggunakan bangunan ini sebagai mesjid. Pada tahun 1982 setelah  dipugar sebelumnya dayah ini diresmikan penggunaannya sebagai mesjid

Mesjid Teungku Dianjong kini
Sumber foto:http://suarakomunikasi.com

Thursday, 17 April 2014

Museum Tsunami Sebuah Maha Karya untuk Masa Depan

Museum Tsunami dengan konsep Rumoh Aceh as Escafe Hill
Sumber foto:Koleksi pribadi

Tsunami. Kata itu begitu asing di teligaku hingga aku melihat dan merasakannya sendiri dahsyatnya Tsunami di Banda Aceh 26 Desember 2004. Saat itu aku sedang berada di wartelku di jalan T. Nyak Arief dekat  asrama haji. Tiba-tiba saja terjadi  gempa.

Tanpa ada yang mengkomando semua orang keluar dari bangunan dan diam di halaman rukonya masing-masing. Gempa kali ini berlangsung lumayan lama sekitar 5-7 menit, goncangannya sangat kuat bahkan untuk berdiri tegak pun tak bisa tanpa ada penopang.

Setelah gempa selesai, semua orang kembali  melakukan aktivitasnya seperti biasa termasuk aku (Aceh memang rawan gempa, jadi sepertinya semua orang sudah terbiasa dengan gempa). Tetanggaku  berinsiatif mersurvey keadaan sekeliling, ternyata banyak juga  bangunan yang roboh akibat gempa terutama bangunan ruko.

Tak lama kemudian, tiba-tiba saja ada orang yang berteriak “air laut naik, air laut naik.” Laut dimana, kita dimana. Itu pertama kali yang terlintas di kepalaku. Tapi belum lagi habis heranku tiba-tiba saja ada air berwarna hitam pekat  langsung menerjang pom bensin Jeulingke serta menyeret mobil yang terparkir di depannya hingga  terbalik dan terhempas ke pagar asrama haji.

Aku tak tahu bagaimana nasib orang yang berada di pom bensin atau di asrama haji. Karena lagi-lagi tanpa dikomando semua orang yang melihat kejadian itu langsung mencoba menyelamatkan diri dengan lari menjauh dari air tsunami menuju prada.
Saling dorong dan ada juga yang menendang itu yang kurasakan ketika berlari  lebih tepatnya  berjalan cepat menyusuri jalan di prada ketika tsunami terjadi. Semua panik dan tentu saja ingin selamat. Walau pun kawasan peurada juga sebenarnya  tidak cukup aman. Karena air mengepung daerah  ini dari  dua arah Lamyong dan Tibang. 

Akhirnya setelah  bersusah payah berdesak-desakan di sepanjang jalan di  prada. Sampai juga aku ke rumah. Segera aku menyuruh semua keluargaku  untuk mengungsi karena air laut naik, awalnya mereka tidak percaya tapi melihat semua orang yang lewat depan rumah kami seperti orang ketakutan dan terburu-buru mereka mengikuti saranku.

Aku tak tahu tetangga-tetanggaku apa semuanya sudah mengungsi atau belum, keadaan hari itu   hampir semua orang sibuk memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Aku dan keluargaku orang terakhir yang mengungsi di lorong Durian peurada utama,  air tsunami hanya berjarak kurang lebih dua meter  tepat di belakang. Jujur kami tidak tahu harus mengungsi kemana.

Jalan menuju Lamgugob juga sudah ditutup ada dua orang hansip yang berjaga dan mengarahkan kami ke lorong kelapa, katanya Lamgugob juga sudah naik air dari Lamyong. Bingung masih melanda kemana kami harus mengungsi, kami melangkah mengikuti jejak-jejak kaki orang-orang  yang berada di depan kami menuju Mesjid di lrg. Kelapa.
Selama di Mesjid berkali-kali gempa terus terjadi dan bangunan di lantai satu mulai penuh dengan air. Ketakutan dan pasrah berbaur menjadi satu. Apakah bangunan mesjid ini tidak akan roboh? Apakah air tsunami itu akan terus naik hingga ke lantai dua? Kudengar semua orang berdoa dan adzan dikumandangkan. Semua orang yang mengungsi di mesjid memiliki sorot mata yang sama pasrah hanya itu bisa yang kami lakukan.

Itu hanya sepenggal ceritaku  dan kepanikan yang terjadi ketika tsunami. Ternyata gempa yang berpusat di 32 kilometer dari Pantai Meulaboh  dan berkekuatan 8,9 skala Richter  telah  memicu gelombang lebih dari 30 meter, berdampak  ke 14 negara dan  menewaskan 230.000 orang yang lebih darii separuhnya dari Aceh  (kompas.com). 


Harusnya Indonesia sebagai negara yang berada pada lempengan bumi yang sangat rentan  akan terjadinya bencana gempa atau “Ring of Fire” membuat kurikulum khusus mengenai bencana dan cara menghadapinya sejak dini di sekolah-sekolah seperti yang dilakukan Jepang. Dengan harapan dapat memperkecil angka kematian  ketika terjadi  bencana. Bencana tidak dapat dicegah namun dampaknya dapat diminimalisir.
Maket Museum Tsunami
Sumber foto: Koleksi pribadi

Untuk mengenang kembali bencana alam tsunami yang maha dashyat di Nanggroe Aceh Darussalam dibangun "Museum Tsunami Aceh." Museum ini dibangun selama masa Rekonstruksi Aceh  melalui sayembara desain,   museum ini memiliki banyak fungsi antara lain:
1.    Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan pembelajaran mengenai bencana tsunami.
2.    Sebagai simbol kekuatan masyarat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
3.    Sebagai warisan kepada generasi mendatang bahwa di daerah Aceh pernah terjadi tsunami.
4.    Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang menguncang wilayah Indonesia.
5.    Sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami datang  atau sebagai escafe building
Museum Tsunami Aceh yang dibangun dengan konsep design "Rumoh Aceh as escape hill" hasil karya Ridwan Kamil atau lebih dikenal dengan nama Pak Emil, merupakan proyek paling emosional yang sangat sulit baginya, karena merancang Architecture of Meaning dan dalam pengerjaan desainnya  beliau menginginkan rancangan yang penuh makna baik itu di dinding, kolom, ornamen maupun di setiap gelap-terang ruangnya.



Jalan masuk Museum Tsunami
Sumber foto: Koleksi pribadi
Beliau melakukan pengamatan sebelum mendesain dan menemukan fenomena bahwa masyarakat Indonesia jarang mengunjungi museum, jadi beliau merancang sebuah museum yang juga menjadi hangout space sehingga setiap saat ramai dikunjungi masyarakat. 

Museum tsunami ini terdiri dari 4 struktur lantai. Lantai basement menggambarkan ruang terbuka yang menggambil ide dasar dari rumah panggung Aceh sebagai contoh kearifan masa lalu dalam merespon tantangan dan bencana alam.

Ruang terbuka ini dapat dimanfaatkan  sebagai ruang publik dan jika terjadi banjir atau tsunami, maka laju air yang datang tidak akan terhalangi. Lantai dua tempat untuk mengetahui tsunami secara sains agar masyarakat bisa terdukasi bila di kemudian hari terjadi tsunami lagi. Rooftop bagian atas bangunan ini merupakan tempat evakuasi yang mampu menampung 1000 orang saat tsunami datang.

Museum ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari dengan 55 koleksi di dalamnya berupa 7 unit maket, 22 unit alat peraga dan 26 buah foto atau lukisan yang menggambarkan keadaan tsunami aceh. Sejumlah koleksi ruang simulasi gempa, alat peraga rumah tahan gempa dan rumah tak tahan gempa serta alat perga gelombang tsunami juga terdapat di sini.



Alat simulasi gempa di Museum Tsunami 
Sumber foto: Koleksi pribadi

    Alat peraga sangat membantu memberi gambaran mengenai tsunami
                               Sumber foto: Koleksi pribadi
Dari arah luar terlihat museum tsunami ini menyerupai kapal dengan sebuah mercusuar berdiri di atasnya, Dengan dinding interiornya yang menggambil filosofi tari saman untuk menunjukan  konsep hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas) dalam Islam. Sedangkan interior museum tsunami menggambil filosofi sebagai berikut:
Space of Fear (Lorong Tsunami) 


  Tsunami passage Museum Tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
Ketika pertama kali kita memasuki ruangan museum kita akan disambut oleh suara gemuruh air dari tsunami passage. Area penerima ini  berupa koridor sempit dengan panjang 30 m dan tinggi hingga 19-23 m melambangkan tingginya gelombang tsunami yang terjadi tahun 2004 silam. Gemuruh air mengalir di kedua sisi dinding museum dan cahaya remang-remang cenderung gelap mendeskripsikan rasa takut pada saat terjadinya tsunami. Ruangan ini sangat sulit diabadikan dengan kamera karena pencahayaannya yang sedikit dan percikan air dari kedua koridor ini takutnya akan merusak kamera.
Space of Memory 




                                
                                      Memorial Hall  Museum Tsunami
                               Sumber foto: Koleksi pribadi

Memorial Hall atau ruang kenangan merupakan area bawah tanah yang dilengkapi dengan 26 monitor sebagai lambang dari kejadian tsunami yang melanda Aceh. Sebanyak 40 gambar yang ditampilkan dalam bentuk slide  berupa foto para korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh. Ketika memasuki ruang dengan dinding kaca ini pengunjung  seolah-olah  tengah berada di dalam laut, dilambangkan dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut, monitor-monitor di dalam ruangan menggambarkan batu di dalam air dan pencahayaan  dari lubang-lubang sh reflecting pool yang berada di atasnya sebagai cahaya dari atas permukaan air yang masuk ke dasar laut.
Space of Sorrow (Ruang Sumur Doa) 


Blessing Chamber Museum Tsunami
Sumber foto: Koleksi pribadi
Blessing Chamber, area ini merupakan ruang transisi sebelum memasuki ruang-ruang kegiatan non memorial. Ruangan  ini berbentuk silinder menyerupai sumur dengan cahaya remang  dan terdapat kurang lebih 2000 nama-nama korban tsunami terpatri di dindingnya.  Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan dianjurkan pengunjung yang memasuki ruangan ini mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan masing-masing.


Space of Hope Museum Tsunami
Sumber foto: Koleksi pribadi
Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya( hablumminallah) yang dilambangkan dengan kaligrai Allah yang tertera di atas cerobong The light of God dan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an mengingatkan bahwa setiap manusia pasti akan kepala Allah (penciptanya).

Space of Confuse (Lorong Cerobong)
 Lorong ini didesain dengan lantai berkelok dan  dan tidak rata sebagai bentuk filosofi rasa bingung dan putus asa ketika tsunami terjadi. Bingung hendak menyelamatkan diri kemana, bingung kehilangan sanak keluarga dan harta benda. lorong gelap yang membawa pengunjung menuju ke atrium yang penuh cahaya melambangkan  harapan baru masyarakat Aceh ketika dalam memulihkan kondisi fisik dan psikologi  usai bencana yang mengalami trauma dan kehilangan besar.


Space of confused Museum Tsunami
Sumber foto:Koleksi pribadi
Space of Hope (Jembatan Harapan)
54 bendera negara di Museum tsunami
Sumber foto:Koleksi pribadi
Atrium of Hope, area ini berupa ruang atrium yang besar sebagai simbol dari harapan dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung akan menggunakan ramp untuk melintasi kolam. Pengunjung dapat melihat 54 bendera dari 54 negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera sama dengan jumlah batu yang tersusun di pinggir kolam. Di setiap bendera dan batu terdapat kata "Damai" dengan bahasa dari masing-masing negara.

Bendera negara di batu dan di skylight Museum Tsunami
Sumber foto:koleksi pribadi
Atrium hope Museum tsunami
Sumber foto:Koleksi pribadi
Dengan tidak mengenakan biaya masuk alias gratis, museum ini selalu ramai dikunjungi wisatawan, baik dari dalam dan luar negeri.  bahkan menjadi salah satu spot yang cukup populer bagi fotografer prewedding. amun sayang sekali, museum ini hanya buka dari hari senin-sabtu, sedangkan dihari minggu tutup. Padahal dihari minggu merupakan hari dimana para pekerja libur dan merupakan hari wisata bagi keluarga.

"Bencana tidak bisa dihadang tapi kita bisa mengantisipasi dampaknya berdasarkan pengalaman bencana sebelumnya. Kita tidak tahu kapan terjadi bencana, tapi kita bisa mempersiapkan diri dengan pengetahuan"



Monday, 14 April 2014

Kapal PLTD Apung, Banda Aceh Vs Kyokotomaru, Jepang



PLTD Apung  Banda Aceh
Sumber Foto: Koleksi pribadi

Tepat pada tanggal 26 desember 2014 nanti merupakan momentum bagi masyarakat Aceh dalam memperingati 10 tahun tsunami. Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang dahsyatnya bencana ini, namun setelah 10 tahun berlalu, sudah selayaknya kita menatap masa depan dan terus berpikir positif.
Bekerja lebih giat dalam membangun bangsa Aceh dapat dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya dari Pemerintah semata, sektor swasta yang berbasis masyarakat atau lebih dikenal dengan small home industry tentunya akan menjadi salah satu sektor yang layak untuk diprioritaskan. Berapa banyak sudah bantuan baik dari Pemerintah maupun dari sumbangan pihak asing dalam hal pemberdayaan masyarakat pasca tsunami yang diterima oleh rakyat Aceh, tentunya ucapan terima kasih dapat diapresiasikan salah satunya dengan bekerja lebih keras dan giat untuk menciptakan masyarakat yang sustainable.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan yang terjadi di Jepang pasca gempa dan tsunami 2011 yang melanda daerah Tohoku (utara Jepang). Dimana dapat dikatakan bahwa mereka sangat sedikit sekali menerima bantuan dari luar/asing dan lebih mengandalkan resource dari dalam negeri mereka sendiri. Walaupun sudah kehilangan harta benda namun masyarakat Jepang sangat sabar, tidak terlihat emosi yang meledak-ledak, mereka tetap mempertahankan budaya antri berbagai kebutuhan pokok, bahkan di keadaan sesulit apapun.

Wisata Tsunami
Di Banda Aceh terdapat beberapa situs tsunami yang cukup mengundang keinginan para wisatawan baik lokal maupun manca negara untuk berkunjung. Seperti Kapal diatas rumah di Lampulo, Kapal Apung di Punge, Museum Tsunami, dll. 
PLTD Apung Banda Aceh
Sumber Foto: Koleksi pribadi

Hal ini terjadi karena sangat kurangnya situs-situs tsunami yang terpelihara dengan baik dan dijadikan memorial oleh negara-negara lain. Jika kita membandingkan dengan Jepang, dimana pasca gempa dan tsunami 2011, dapat dikatakan sudah tidak ada lagi bangunan atau sisa-sisa dari bencana tersebut yang dijadikan memorial. Dikarenakan oleh dasar budaya Jepang yang agak sedikit sentimentil dan memiliki kesan mendalam terhadap suatu hal dan tidak ingin mengenangnya lagi jika kejadian tersebut dianggap kurang baik. 
Sebagai contoh, disebuah kota pelabuhan yang bernama Kesennuma, disana terdapat sebuah kapal besar Kyotokumaru dengan bobot 330 ton yang sedikit lebih kecil dari PLTD Apung, namun apa yang terjadi? Pada awalnya masih terdapat pro dan kontra antara pihak yang ingin menyimpannya menjadi salah satu bukti kedahsyatan tsunami dan pihak lain yang merasa sedih, karena setiap melihat kapal tersebut akan mengingatkan mereka terhadap sanak keluarganya yang hilang. 
Untuk mengambil keputusan, pemerintah kota Kesennuma melakukan voting/jejak pendapat yang diikuti oleh seluruh warga kota, dan hasilnyapun sudah dapat ditebak dimana mayoritas (hampir 70%) masyarakat memnginginkan agar kapal besar itu untuk di demolish.
Memang banyak sekali pihak yang menyayangkan hasil keputusan warga kota Kesennuma, namun bagi mereka hidup haruslah terus berjalan dengan menatap masa depan, walaupun tidak ada lagi sisa-sisa bencana yang dapat dijadikan peringatan bagi generasi mendatang, yang mungkin dapat berpikir bahwa tsunami besar itu hanyalah dongeng belaka.

Kyokotomaru
Sumber Foto: AFP
.
Maka beruntunglah kita yang tinggal di Aceh, dimana masih terdapat banyak sekali memorial yang dapat memberi pelajaran kepada para penerus bangsa dan tentu saja situs –situs tsunami tersebut perlu dirawat dan dijaga bersama-sama.
Maket Kapal PLTD Apung
Sumber foto:Koleksi pribadi
Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung, kapal seberat 2.600 ton milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) awalnya didatangkan ke Banda Aceh guna memenuhi pasokan listrik di Banda Aceh sebesar 10, 5 Megawatt. Dikarenakan sewaktu terjadi konflik di Aceh banyak menara listrik PLN yang dirobohkan menyebabkan pasokan listrik terganggu. 




PLTD Apung
Sumber foto: Koleksi pribadi
Pengunjung PLTD Apung
Sumber foto: Koleksi pribadi
Kapal yang memiliki luas 1.900 meter persegi dan panjang 63 meter ini terseret gelombang tsu
nami dari Pantai Ulee Lheue sejauh 5 km dan terdampar di Gampong Punge Blang Cut Kota Banda Aceh. Hingga kini PLTD apung tetap berada di tengah kota dan dijadikan monumen peringatan tsunami.

Kapal PLTD apung ini meski terkena terjangan ombak tsunami, kapal ini tetap utuh dan masih berbentuk seperti kapal besar pada umumnya
Untuk menunjang PLTD apung sebagai monumen  tsunami, pemerintah provinsi Aceh membuat taman edukasi di sekitar PLTD apung seluas 2 hektare. Taman edukasi ini dilengkapi dengan catatan-catatan informasi tsunami berikut foto-foto yang diabadikan saat bencana itu terjadi. Jembatan-jembatan juga dibangun agar pengunjung dapat menikmati wisata di PLTD Apung dari segala sisi.


Jembatan dan Prasasti jam bundar di lihat dari kapal apung
Sumber foto: koleksi pribadi

Tidak jauh dari PLTD, terdapat sebuah prasasti setinggi 2,5 meter.  Prasasti berbentuk jam bundar itu menunjukkan waktu jam 07.55WIB, tepat ketika gelombang tsunami menerjang Aceh. Pada miniatur gelombang tsunami juga terdapat gambar timbul berbentuk rumah dan orang hanyut tersapu tsunami.
Wisatawan lokal sedang berfoto di prasasti jam bundar
Sumber foto: Koleksi pribadi
Jam berkunjung PLTD Apung
Sumber Foto: Koleksi pribadi




Tips Liburan Seru Tanpa Drama di Banda Aceh

  Menikmati kopi di salah satu sudut di Kota Banda Aceh           Siapa yang tidak sabar menunggu liburan datang? Libur akhir tahun adalah m...