Saturday, 19 July 2014

Rumoh



Rumoh Aceh manisfestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi
terhadap lingkungan serta menunjukan status sosial seseorang

Rumoh atau rumah dalam bahasa Indonesia merupakan perlambang”kemandirian dan otoritas” seorang laki-laki Aceh. Hal ini mengacu pada salah satu hadist Rasullah saw mengenai ukuran kecukupan  seorang laki-laki muslim yaitu memiliki tiga hal pokok yaitu rumah yang luas, isteri yang sholeha dan kendaraan yang baik.

Sudah menjadi adat masyarakat Aceh, jika seorang laki-laki sudah berkeluarga, maka dia cenderung  ingin mandiri pisah tempat tinggal baik dengan keluarganya sendiri, apalagi dengan keluarga isteri(mertuanya).

Sehingga  membangun rumah pribadi merupakan suatu keharusan, terutama berkaitan dengan eksistensinya sebagai kepala keluarga. Pepatah Aceh mengatakan beulagee rangkang blang, penting mangat tareupang yang artinya walau gubuk, enak kaki untuk terjulur.

Tareupang  bisa juga diartikan sebagai lambang kebebasan seorang laki-laki di rumahnya tanpa perlu merasa sungkan dalam melakukan aktivitas apapun. Tidak seperti ketika tinggal seatap bersama mertua  semua yang dilakukan harus diperhatikan benar mulai dari cara berpakaian, tidur, duduk dan berbicara jangan sampai melanggar sopan  santun dalam keluarga.

Jarang sekali kita temukan dalam masyarakat Aceh satu rumah dihuni oleh beberapa keluarga, jika pun itu terjadi, pasti dalam keadaan terpaksa dan biasanya sifatnya hanya sementara saja.

Di desa-desa Aceh akan kita temukan sejumlah rumah yang tidak memiliki pagar pembatas dan bahkan dari beberapa rumah itu hanya memiliki satu sumur. Ini menandakan  bahwa rumah-rumah tersebut milik satu buah keluarga yang di sebut sekuru.

Sekuru biasanya terjadi karena pasangan yang baru menikah belum cukup mapan untuk membeli tanah dan membangun rumah sendiri sehingga orangtua mereka menyediakan tanah yang berada dalam kawasan  rumah induknya untuk dibangunkan ruamah untuk anaknya yang sudah berkeluarga.
Dalam masyarakat Aceh yang kental dengan syariat Islam, fungsi  rumah sebagai tempat beribadah dan hidup. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan sebuah rumah dilaksanakan dengan upacara atau keunduri.

Keunduri merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah. Tujuan utamanya adalah untuk menolak bala atau penyakit. Upacara adat ini biasanya diisi dengan doa tulak bala, tepung tawar  (peusunteng/peusijuk).

Besarnya keunduri tergantung pada kemampuan pemilik rumah. Jika orang berada maka keunduri dilaksanakan hingga  menyembelih kambing sebagai menu utama makanannya. Apabila yang memiliki rumah orang serderhana atau biasa saja dalam taraf ekonominya  biasanya keunduri hanya menyembelih beberapa ekor ayam saja.

Pada umumnya tidak ada yang berbeda dalam upacara mendirikan rumah di seluruh Aceh. Baik dalam menentukan hari yang tepat, memilih bahan baku bangunan hinga melakukan peusijuk atau suntingan rumah.

Untuk menentukan waktu yang tepat mendirikan rumah, biasanya dalam masyarakat Aceh selalu memilih bulan-bulan yang baik seperti zulhijjah dan syawal atau bulan lainnya disesuaikan dengan bulen di langet (perhintungan qamariah) bukan perhintungan syamsiah atau masehi.

Jika seseorang ingin membangun rumah atau menghuni rumah baru, selalu dikonsultasikan kepada para Teungku atau orang-orang tua yang memiliki ilmu mengenai hal tersebut terlebih dahulu.

Selanjutnya pelaksanaan pendirian rumah dilakukan setelah tanah pertapakan sudah ditentukan dan bahan-bahan telah tersedia. Kegiatan ini dilakukan dengan bergotong-royong atau disebut meurame  dengan mengundang ahli waris yang berdekatan atau kuru berserta tetangga yang datang (ureung lingka) untuk bersama-sama mendirikan rumah dengan arahan dari Utoh, utus (tukang pembuat rumah) dan didampingi oleh tetua gampong (teungku dan keuchik)



Salah satu model  rumah  dahulu di Aceh
Salah satu bentuk rumah bantuan untuk korban tsunami di Aceh
Saat ini rumah di Aceh  terus mengalami perkembangan dalam struktur bangunannya. Sehingga banyak yang meninggalkan bentuk rumah adat untuk beralih ke struktur bangunan baru seperti rumoh santeut (rumah panggung), rumoh tampong limong (rumah model bubung lima), rumoh bate (rumah beton) yang tidak menggunakan tangga dan sebagainya.


Rumah yang tidak lagi berpola adat Aceh atau rumah yang berasitektur modern dalam masyarakat Aceh disebut sebagai rumoh Belanda. dirangkum dari berbagai sumber.

Friday, 18 July 2014

Semangat Berbagi Sejak Dini


Usianya baru 4,5 tahun tapi semangat berbaginya membuatku sebagai ibunya bangga. Mungkin kelihatannya sederhana tapi dari hal kecil sesuatu itu jadi besar bukan?
Seperti  beberapa hari yang lalu Vinka minta izin main keluar dan tak berapa dia kembali lagi masuk rumah.
Aku pun bertanya kok cepat mainnya?
Mana tab ma? kakak mau main sama kawan kakak.
Sebernanya sedikit khawatir juga tab untuk anak seusianya kan termasuk barang mewahlah. Aku takut dia dia jadi sombong dan pamer ke teman-temannya dia punya tab sedangkan teman-temannya tidak.
Tapi dugaanku salah. Vinka membawa tab untuk mengajarkan kawan-kawannya main game di tab itu bersama. Begitu telaten dia mengajarkannya sehingga hanya sebentar saja temannya sudah bisa memainkan game yang Vinka ajarkan.  Malah terakhir temannya lalai main game dan Vinkanya dicuekin :(.
Tapi seolah nggak kapok besoknya Vinka ajak lagi kawan-kawannya untuk main tab bareng entah itu nonton or main game.
Nggak hanya itu  pas lagi teman-temanya di rumah Vinka suka minta dikeluarin makanan kesukaan atau apa yang ada di rumah walau dia tahu konsekuensinya kalau berbagi makanan dengan teman-temannya jatah cemilan dia akan berkurang.
Vinka...vinka i'm so proud of you
Aku dan Vinka

Tuesday, 15 July 2014

Lesson from Disaster


We should take to heart the lessons of past disasters to prepare for future disasters. Torahiko Terada (1878-1935)
  
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ancaman bahaya  atau bencana ini dibedakan menjadi lima kelompok yaitu:
  1. Bahaya/bencana beraspek geologi, seperti: gempa bumi, tsunami, gunung api, dan tanah longsor.
  2. Bahaya beraspek biologi, seperti wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman dan hewan/ternak.
  3. Bahaya beraspek teknologi, seperti: kecelakaan transportasi, kecelakaan industry dan kegagalan teknologi.
  4. Bahaya beraspek lingkungan, seperti: kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.
  5. Bahaya beraspek sosial seperti kerusuhan, tawuran antar warga atau kelompok dan perang.
Indonesia merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia demikian menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana). Karena secara geografis Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia juga termasuk dalam wilayah cincin api ( Ring of Fire)
Tidak hanya bencana alam, bencana non alam seperti kebakaran hutan, epidemi penyakit serta bencana sosial yang diakibatkan serangkaian peristiwa oleh  ulah manusia berupa konflik sosial antar kelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan yang tterus menghantui.
Faktanya meski sudah tahu negeri kita tercinta ini rawan bencana tapi pengetahuan masyarakat mengenai kesiap siaga bencana masih minim sekali. Padahal peranan masyarakat itu sangat penting dalam mendukung  berbagai kegiatan pengurangan resiko bencana yang dijalankan pemerintah setempat guna mewujudkan kota siaga yang masyarakatnya mampu mencegah, melakukan mitigasi dan siap siaga menghadapi bencana.
Seperti di Aceh salah satu kota di nusantara yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah ini, berpotensi terhadap bencana alam, non alam dan sosial. Beberapa bencana alam dimulai dari angin puting beliung, tanah longsor, banjir, gempa bumi, letusan gunung api hingga tsunami pernah terjadi di daerah ini.


Penanaman kembali hutan bakau sebagai zona penyangga untuk  mengurangi
daya rusak tsunami  sumber foto: Koleksi pribadi 
Namun seolah  lupa mengkisahkan pada generasi selanjutnya bencana yang  pernah terjad, sehingga kurangnya antisipasi dari ancaman bahaya tinggal di daerah rawan bencana. Bencana yang terjadi dianggap  sudah takdir yang Kuasa  dan manusia tidak bisa berbuat apa-apa. 
Padahal, jika mau bersungguh-sungguh mengatasi masalah dan tidak hanya pasrah kita bisa memulai dengan hal yang mudah seperti storytelling pada anak-anak atau dengan pendidikan bencana dari usia dini seperti yang dilakukan di Jepang.
Hingga akhirnya  kita baru sadar dan  mulai  bebenah setelah gempa  9,1 SR terjadi menyebabkan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang tercatat sebagai salah satu gempa terbesar yang pernah terjadi sejak tahun 1900 menurut US Geological Survey  yang membuat seluruh mata dunia tertuju ke Indonesia.
Ada beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa dan harta saat bencana gempa dan Tsunami,  tiap kawasan terdapat perbedaan, namun dapat dirangkum penyebabnya sebagai berikut:

  • Faktor kesadaran /pengetahuan warga terhadap bencana. Warga tidak menyangka/mengetahui akan datangnya Tsunami, sehingga setelah terjadi gempa sebagian warga masuk lagi ke dalam rumah. Warga yang berada di luar rumah, melihat banyaknya warga desa lain berlarian tidak tahu apa yang harus dilakukan.Sebagian warga tidak percaya informasi peringatan (teriakan) bahwa Tsunami datang. Warga yang tersadar akan datangnya Tsunami sudah tidak cukup waktu untuk menyelamatkan diri karena Tsunami sudah masuk ke desa.
  • Jauh dan minimnya tempat yang tinggi sebagai tempat penyelamatan.
  • Tidak adanya jalan tembus ke desa tetangga yang jauh dari arah gelombang Tsunami, kalaupun ada jaringan jalan terlalu sempit, arah jalan yang memutar terlalu jauh danberkelok sehingga tidak bisa cepat menuju tempat penyelamatan.
  • Jaringan jalan desa yang relatif sempit, berkelok dan jalan buntu atau banyak permukiman yang tidak terakses jalan, sehingga banyak warga yang terjebak, terhimpit dan lain-lain.
  • Tidak tersedianya tempat penyelamatan berupa tempat yang tinggi untuk menghindari tsunami ataupun lahan terbuka untuk menghindari gempa.

Kebun warga  di kawasan Desa Ruyung Aceh Besar yang bisa dijadikan bukit evakuasi hanya
 saja terkendala kepemilikan sehingga tidak bisa untuk akses bersama Sumber foto: Koleksi pribadi

  •    Tidak adanya penghalang untuk meredam bongkahan bangunan, pohon-pohon dan lain-lain yang terbawa gelombang tsunami.


    Jalan menuju bukit evakuasi di desa Ruyung yang lebarnya 
    kurang memadai untuk dijadikan jalur evakuasi 
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Seolah mimpi buruk potret suram kehidupan di Aceh  menjelma dimana-mana. Daerah  Aceh yang terkena dampak langsung tsunami seperti kota mati dengan mayat disana-sini, tak berpenghuni karena listrik dan air juga tak ada, belum lagi trauma yang hinggap yang tak kunjung sirna. Semua serba tak pasti akibat belum adanya kepastian atas ketersediaan ruang hidup yang layak untuk masyarakat.
    Survey untuk menyesuailan data yang ada dengan kondisi yang sebenarnya
    di lapangan guna menghasilkan masterplan desa dan profil desa yang akurat
    Sumber  foto:Koleksi pribadi

    Hingga akhirnya bantuan dari berbagai Negara diberikan untuk Aceh. Untuk  membuat Aceh bangkit. Dimulai dengan membangun kembali pemukiman yang telah hancur melalui perencanaan yang matang dengan melibatkan langsung semua masyarakat desa  tua muda, pria wanita, kaya miskin, orang sehat maupun orang cacat dalam perencanaan.
    Musyawarah desa membahas penataan gampong di Desa Ruyung
    Sumber foto: Koleksi pribadi

    Perencanaan atau penataan desa itu terdiri dari:
    • Perencanaan  fasilitas umum dan fasilitas sosial
    • Pemanfaatan lahan(tata guna lahan)
    • Fasilitas penyelamatan (gedung, bukit dan jalur-jalur penyelamatan)
    • Prasarana jalan
    Perencanaan ini juga sebaiknya mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup (sosial, budaya dan ekonomi) warga desa. Partisipasi warga disini sangat penting untuk memberikan informasi tentang desa, menyampaikan keinginan/kebutuhan warga, menyampaikan usulan, memberi persetujuan, mengawasi dan menjaga pembangunan. 
    Perencanaan  fasilitas umum dan fasilitas sosial
    desain saya sendiri

    Dengan perencanaan yang melibatkan partisipatif warga diharapkan bisa mempercepat proses pembangunan desanya dan para donatur yang ingin membantu tidak perlu mencari data-data lagi karena sudah dirangkum dalam buku dan peta perencanan desa yang telah dirancang bersama.


    Barak pengungsi Tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Namun masalah tak hanya sampai disitu setelah bantuan datang pun timbul masalah baru yaitu ketidakpuasaan sebahagian warga terhadap kualitas rumah bantuan yang diterima dibandingkan dengan rumah bantuan  warga lain dari donatur lain. Hal ini terjadi karena tidak ada standar rumah bantuan yang sama baik model, besar rumah dan kualitas yang berbeda sehingga timbul kencemburuan sosial terhadap bentuk bantuan yang beragam.
    Bentuk rumah bantuan  untuk korban tsunami
    di kawasan Pasi Beurandeh
    Sumber foto: koleksi pribadi

    Bentuk  rumah bantuan untuk korban Tsunami di Desa Ruyung
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Tentu saja mereka bersyukur menerima bantuan tapi fithrah manusia pasti ingin mendapatkan yang terbaik. Masalah lainnya sanitasi di perumahan yang dibangun sepertinya kurang efektif karena terjadi penurunan muka tanah jadi ketika air pasang naik dan  sebentar saja hujan deras  kawasan desa tergenang air.
    Kualitas kayu yang tidak sesuai standar untuk ventilasi jendela
     di salah satu  rumah bantuan korban tsunami
    Sumber foto: Koleksi pribadi
    Kualitas kayu kurang bagus pada atap di salah satu rumah bantuan
    Sumber foto: Koleksi pribadi 
    Belum lagi masalah bantuan yang penyalurannya tidak merata serta pembebasan lahan untuk membuat rumah bagi korban tsunami yang tempat tinggalnya tidak layak huni lagi. Betapa kompleksnya permasalah yang ada. Andai saja kita telah dilatih menyiapkan diri menghadapi bencana mungkin permasalahan yang timbul tidak serumit ini.


    Drainase yang tidak berfungsi dengan baik  karena penurunan
    permukaan tanah di Desa Pasi Beurandeh  sumber foto: Koleksi pribadi

    Memang secara alamiah semua orang mempunyai naluri dalam menyelamatkan diri dari bahaya. Namun, dengan memahami cara-cara menghadapi bencana alam secara  cerdas dan sistematis maka risiko bencana dapat ditekan  serendah mungkin dengan meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek  dalam pengurangan resiko bencana.
    Untuk tahap awal kita bisa memulai dengan mengadakan penyuluhan dan pendidikan bencana dengan penyebaran informasi mengenai jenis bencana, potensi bencana, dampaknya dan cara-cara penanggulangannya.
    Penyebaran informasi ini bisa dilakukan dengan menggunakan sarana dan fasilitas alat komunikasi, seperti HP, internet, radio, televisi, media cetak, begitu juga media dan forum lainnya, jika perlu ada kurikulum khusus di sekolah-sekolah mengenai cara-cara menghadapi bencana.

    Sekalipun teknologi dan peradaban sudah maju pesatnya, namun tak bisa menolak datangnya bencana. Bencana memang bisa diprediksi, namun tak bisa diperkirakan kapan tepatnya datang bencana tersebut.  Namun kita bisa mengantisipasi dampaknya dengan  dasar-dasar ilmu yang kita miliki  untuk mengurangi resiko bencana.

    Referensi:
    http://www.tdmrc.org

    Tulisan ini diikutsertakan dalam



    Monday, 14 July 2014

    My ACARP

    Iseng tadi nyari arti ACARP.eh pas googling ketemu tulisan dari penelitian kami dulu disini. Jadi ingat masa-masa jadi field research dulu nginap dikampung-kampung, kadang susah sinyal. Pagi-pagi udah incar orang untuk ditanya-tanya untuk isi kuesioner.
    Mutar-mutar desa untuk tahu apa permasalahan mereka buat bahan penelitian desa bangkit dan yang belum bangkit dari tsunami..
    Cari orang yang kredibel untuk ditanya-tanya mengenai desanya.Seru pokoknya jadi kangen teman-teman di ACARP dulu.

    Friday, 11 July 2014

    Cegah dan Hentikan Stigma serta Diskriminasi Terhadap Pasien TB

    Dengan segala keterbatasan pengetahuan yang kita miliki mengenai Turbekolosis seringkali tanpa kita sadari kita memberi stigma negatif pada penderita TB dan penyakit menular lainnya  sehingga mendeskriminasikan mereka dari hak yang mereka punya.

    Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI)


    Foto dengan kamera hp pas acara lomba ceramah salah satu kegiatan di festival anak shaleh Indonesia.     
    Foto ini diambil dihalaman Mesjid Baitul Musyahadah di desa Geuceu Kaye Jato, kecamatan Banda Raya dekat tempat tinggalku. Ketika berlangsung kegiatan Festival anak shaleh Indonesia sekota banda aceh di bulan Maret 2014 yang diisi dengan berbagai lomba  seperti cerdas-cermat, lomba mewarnai dan mengambar, lomba ceramah dan bazar. Selain untuk shalat, mesjid ini juga digunakan untuk melangsungkan akad nikah biasanya di pagi hari  dan belajar mengaji untuk anak-anak di sore hari.
    Mesjid ini juga terkenal dengan nama Mesjid Teuku Umar atau Mesjid Meukeutop, dikarenakan bentuk kubahnya yang mengadopsi bentuk kopiah khas Aceh yang biasa dipakai oleh Teuku Umar dalam berperang melawan tentara Belanda.

     


    Thursday, 10 July 2014

    Cindera Mata di Kasurku


    Setelah ngubek-ngubek ingatan di kepala, akhirnya aku nemuin banyak sekali kejadian konyol yang kulakukan di tahun-tahun pertama  pernikahan. Rada-rada gimana juga mau share ceritanya ketahuan banget konyolnya diriku ini salah satu ceritanya.
    Ini my silly moment waktu training toilet anakku. Vinka masih berumur dua tahunan dan aku sedang hamil anak kedua.  Ketika bangun Vinka selalu bilang kalau mau buang air kecil atau buang air besar tapi kalau lagi tidur masih sering kebablasan  ngompolnya bi                                                           kin kotor kasur.
    Seperti hari itu malam harinya  vinka pipis lagi di tempat tidur.  Untung saja tempat tidurnya bukan spring bed jadi ringan sedikit urusan mengangkat kasur dari kapuk ini. Karena banyak banget hal yang harus kulakukan aku memutuskan untuk menjemur kasur lebih awal  di halaman rumah dengan sebelumnya dilapisi dengan tikar pandan.
     Walau matahari belum ada dan langit tampak sedikit mendung aku tetap keukeh jemur tuh kasur biar nggak repot angkat-angkat kasur lagi pas lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.
    Jam menunjukan pukul sembilan  matahari kini bersinar terang. Aku bermaksud memindahkan dua kasur yang telah di jemur tadi ke tempat yang lebih terkena matahari. Kulihat kasur pertama ada kucing yang lagi enak-enaknya tidur di kasur yang sedang kujemur.
    Ada sesuatu berwarna coklat, lembek dan ketika kudekati membuat mual perutku karena baunya. Sangat berharap ini cuma mimpi, seumur-umur jemur kasur baru kali ini deh nemu cinderamata kaya gini di kasur yang kujemur.
    Histeris,geram segera kukejar kucing yang sudah memberi  cinderamata itu. Mimpi apa yang semalam bisa dapat oleh-oleh kotoran kucing di atas kasur, geram banget deh. Mendengar kehebohan suaraku ketika  menjemur kasur ibu mertua pun keluar dan ketika melihat ada cinderamata di satu kasurku  dengan sedikit menahan tawa ibu mertua berkata. “Lain kali kalau jemur kasur  tunggu mataharinya panas dulu baru diangkat kasurnya buat dijemur.”
    Aduh rasanya malu banget dibilang kaya gitu sama ibu mertua kelihatan nggak profesionalnya urusan kaya gitu. Belum lagi penderitaku berakhir dengan harus buang kotoran kucing dan nyuci kasur yang kena kotoran sambil nahan mual. Mau cepat malah tambah kerjaan jadinya tambah lambat.
    Ibu mertua jagain Vinka sampai aku beres nyikat kasur. Belum lagi beres kerjaanku sudah datang bu Keuchik(ibu kepala desa) yang bertamu. Ibu keuchik memang akrab banget dengan ibu mertuaku. Melihat aku sedang nyikat kasur,bu keuchik nanya sama mertuaku kenapa kasurnya. Mulailah ibu mertuaku cerita tentang cinderamata di kasur sambil nggak henti menahan tawa.
    Aduh rasanya ingin ada pintu doremon deh  biar bisa ngilang dimana gitu. Double malunya, belum lagi pas suami pulang cerita itu terus berlanjut. Nasib…nasib gara-gara cinderamata di atas kasur.
    Tulisan ini diikutsertakan dalam
    http://www.nunuelfasa.com/2014/06/the-silly-moment-giveaway.html?spref=fb

    Tips Liburan Seru Tanpa Drama di Banda Aceh

      Menikmati kopi di salah satu sudut di Kota Banda Aceh           Siapa yang tidak sabar menunggu liburan datang? Libur akhir tahun adalah m...